Eksplorasi.id – Perubahan status kawasan di beberapa hutan ternyata menjadi kendala bagi PT Chevron Pacific Indonesia dalam memaksimalkan potensi bisnis energi panas bumi atau geotermal di Indonesia.
Senior Vice President, Policy, Government, and Public Affairs Chevron Indonesia, Yanto Sianipar mengatakan, meskipun telah ada Undang-Undang nomor 21 tahun 2014 tentang panas bumi yang boleh dimanfaatkan, namun tetap saja pihaknya tak bisa melangkah lebih jauh karena adanya perubahan status hutan di beberapa daerah potensial Panas bumi seperti Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Gorontalo.
“Permasalahannya sebenarnya adalah status hutan kita banyak yang berubah,” kata Yanto.
Dirinya mencontohkan, misalnya saja di daerah Gunung Salak yang dahulu merupakan hutan lindung dan bisa dimintakan izin untuk beroperasi. Saat ini statusnya berubah jadi taman nasional. Dengan perubahan tersebut, maka Chevron kesulitan mendapat izin usaha.
“Bukan hanya di Gunung Salak loh, status hutan di Sumatera, Riau, juga berubah statusnya jadi taman nasional. Itu menjadi masalah, karena operasi kita enggak bisa di sana,” tutur dia.
Menurut Yanto, problematika ini tak hanya dirasakan Chevron. Pertamina, yang memiliki usaha panas bumi pun merasakan hal yang sama dari perubahan status hutan.
Lebih jauh, pihaknya meminta pada Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mempermudah proses perizinan agar tak terkendala status hutan. Jika pemerintah tak turun tangan, Chevron mengancam akan menutup usaha yang dampaknya tentu pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.
“Sekarang sudah ada pembicaraan, katanya pemerintah harus cari jalan keluar. Kalau enggak, akan repot industri yang ada di situ,” jelas dia.
Eksplorasi | Aditya