Eksplorasi.id – Sejumlah jajaran direksi PT Pertamina (Persero) saat ini bisa dikatakan gagal menjalankan tugasnya. Fakta ini tercerminkan dari laporan keuangan perseroan.
Tahun lalu, perusahaan migas pelat merah ini memiliki aset sebesar USD 46,38 miliar atau setara Rp 621 triliun (kurs Rp 13.392,5).
“Dari total aset sebesar itu, Pertamina hanya meraup laba kotor sekitar USD 3,9 miliar atau setara Rp 51,83 triliun. Itu artinya hanya 8 persen. Kalau di swasta, semua karyawannya sudah dipecat semua karena telah gagal menjalankan roda perusahaan,” tegas Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Rabu (18/5).
Yusri menambahkan, Pertamina saat ini juga terbebani utang yang harus dilunasi (liabilitas) yang mencapai USD 27,32 miliar atau setara Rp 365,96 triliun.
Baca juga: http://eksplorasi.id/fantastis-kurun-tiga-tahun-pertamina-terbitkan-surat-utang-rp-21391-triliun/
Jumlah liabilitas jangka pendek yang mesti dilunasi perseroan saat ini mencapai USD 9,8 miliar atau Rp 131,41 triliun. Sedangkan liabilitas jangka panjang sebesar USD 17,5 miliar atau Rp 234,55 triliun.
Sementara itu, lanjut Yusri, perintah Presiden Jokowi untuk membangun kilang BBM demi meningkatkan ketahanan energi nasional bisa jadi wacana pepesan kosong saja.
“Buktinya sudah lebih dari 1, 5 tahun direksi Pertamina bekerja, proyek Refinery Development Masterplan Program (RDMP) belum ada kepastiannya sampai saat ini siapa investor yang akan membangun kilang di Tuban dan Balikpapan. Selalu katanya masih di dikaji terkait adanya opsi menawarkan wilayah kerja hulu oleh pihak calon investornya,” ungkap dia.
Baca juga: http://eksplorasi.id/waspada-obligasi-yang-diterbitkan-pertamina-berisiko-dan-spekulatif/
Yusri menjelaskan, apa yang dilakukan manajemen dan petinggi Pertamina saat ini telah membuktikan bahwa roda organisasi perseroan telah jalan di tempat, bahkan bisa dikatakan mundur. Dia kembali mencontohkan, pada 2014 aset Pertamina mencapai USD 50,35 miliar atau setara Rp 674,37 triliun.
“Namun, pada 2015 asetnya turun menjadi USD 46,38 miliar atau Rp 621 triliun. Berarti, dalam setahun saja terjadi penurunan aset hingga USD 3,97 miliar atau Rp 53,23 triliun. Ini nilai yang fantastis. Dan, ini tanggung jawab direksi terkait. Karena telah telah terbukti gagal, maka direksi terkait harus dipecat,” ungkap dia.
Yusti kembali berkomentar, anehnya setiap rilis berita oleh dirut Pertamina dan juru bicara perseroan yang diwakili Wianda Pusponegoro selalu menyatakan banyak penghematan.
“Kalau betul tentunya margin Pertamina harusnya lebih besar dari tahun 2014 dan 2015. Apalagi harga minyak mentah rata-rata sepanjang pertengahan 2015 hingga kuartal I/2016 jauh di bawah USD 45 perbarel. Padahal angka impor kita lebih tinggi dari pada lifting minyak bagian negara dan Pertamina. Semestinya Pertamina bisa untung jauh lebih baik dari tahun 2014. Ini malah kebalikannya,” jelas dia dengan nada heran.
Baca juga: http://eksplorasi.id/tahun-lalu-kinerja-keuangan-pertamina-jeblok/
Di satu sisi, secara terpisah, Fahmy Radhi, mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, mengatakan, salah satu tujuan Pertamina akan mencaplok PT PGN Tbk dalam skema holding energy adalah untuk menggelembungkan aset agar dipercaya mengeluarkan surat utang (obligasi) dan laku di pasar luar negeri.
Seperti diketahui, Pertamina dalam kurun 23 Mei 2011 hingga 30 Mei 2014 ternyata telah menerbitkan obligasi (surat utang) hingga mencapai USD 15,875 miliar atau setara Rp 213,91 triliun.
Sementara, peringkat utang Pertamina sejak 22 Januari 2016 hingga 17 Maret 2016 terus mengalami perubahan. Pada 22 Januari 2016, S&P mengeluarkan peringkat utang Pertamina adalah BB+.
Kemudian, pada 15 Juni 2015, Fitch menyatakan peringkat utang Pertamina adalah BBB-. Terakhir Moody’s pada 17 Maret 2016 menyebut peringkat utang Pertamina adalah Baa3. Adapun tipe peringkat (rating type) peringkat utang keseluruhannya adalah long-term issuer rating.
Heri
Comments 1