Eksplorasi.id.Dalam 3 pekan terakhir, Menko Kemaritiman sekaligus Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan, terus mendorong revisi atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010.
Selama ini, PP yang mengatur cost recovery dan pajak-pajak di hulu migas ini dinilai menghambat investasi. Terlalu banyak pajak yang dipungut sehingga investor malas mencari minyak di Indonesia.
Kalau aturan ini tak direvisi, didiamkan saja oleh pemerintah, apa dampaknya?
Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, mengungkapkan cadangan migas Indonesia, khususnya minyak, akan segera habis kalau tak ada terobosan-terobosan yang dilakukan pemerintah untuk mendorong kegiatan eksplorasi migas.
Berdasarkan grafik perkiraan yang dibuat Kementerian ESDM, produksi minyak Indonesia yang saat ini 820.000 barel per hari (bph), akan merosot tajam hingga tinggal 550.000 bph di 2020, 247.000 bph di 2030, 128.000 bph di 2040, dan 77.000 bph di 2050.
“Produksi migas kita terus turun, tahun 2050 tinggal 70 ribu bph, padahal kebutuhan kita saat itu sudah tinggi sekali. Dengan pertumbuhan ekonomi sekarang 5,1 persen, konsumsi migas tumbuh 4 persen per tahun. Kita akan jadi importir minyak yang besar sekali,” ujar Wirat, saat berdiskusi di Gedung Migas, Jakarta, Jumat (9/9/2016).
Salah satu terobosan yang perlu dilakukan untuk mendorong penemuan cadangan-cadangan baru sekaligus menahan laju penurunan (decline) produksi migas nasional adalah merevisi PP 79/2010.
“Kita harus buat terbosan yang membuat industri migas kita lebih atraktif. Salah satunya dengan merevisi PP 79. Perlu dilakukan penyempurnaan untuk memberi kepastian hukum pada investor, baik soal cost recovery maupun perpajakan di hulu migas,” dia menjelaskan.
Kalau kegiatan eksplorasi digenjot, Wirat yakin cadangan terbukti migas Indonesia bakal melonjak. Sebab, potensi migas di Indonesia sebenarnya masih besar. Hanya saja cadangan-cadangan itu ada di laut dalam dan daerah-daerah terpencil. Kalau tak ada terobosan, potensi-potensi itu kurang ekonomis untuk dikembangkan.
“Kalau dari potensinya, cekungan-cekungan kita sangat potensial mengandung hidrokarbon. Indonesia ini ibarat gadis cantik yang tidak dirias,” tuturnya.
Revisi PP 79/2010 diyakini Wirat dapat meningkatkan minat investasi di sektor hulu migas Indonesia. Sebab aturan ini memang momok bagi kontraktor migas di Indonesia.
Menurut data Kementerian ESDM, jumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Indonesia terus menurun semenjak keluarnya PP 79/2010. Pada 2013, jumlah KKKS masih 321, lalu berkurang menjadi 318 di 2014, 312 di 2015, dan tinggal 288 pada Juli 2016. Ini membuktikan bahwa iklim investasi hulu migas di Indonesia sangat tidak atraktif setelah ada PP 79/2010.
“Jumlah KKKS kita turun setelah ada PP 79/2010. Padahal saat itu (2010-2014) harga minyak tinggi, tapi KKKS di Indonesia malah berkurang, artinya kita tidak atraktif. Kita berharap (jumlah KKKS) menanjak lagi setelah revisi PP 79. Kalau ada banyak KKKS, kemungkinan kita menemukan cadangan baru lebih besar,” papar Wirat.
Dirinya berharap draft revisi PP 79/2010 yang akan segera diajukan pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) disahkan. “Revisi PP 79 terus bergulir. Terima kasih atas kepemimpinan Pak Luhut yang sangat concern dengan hal ini. Eksplorasi migas harus masif, Presiden sudah memberi arahan,” pungkasnya.