Eksplorasi.id – Harga gas di Indonesia relatif cukup tinggi, bahkan bila dibandingkan dengan Singapura yang tidak memiliki sumber daya gas alam.
Tingginya harga gas di dalam negeri, ungkap anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Syamsir Abduh di Jakarta, Minggu (4/9), disebabkan disebabkan banyak pihak yang terlibat dalam rangkaian rantai distribusi gas alam.
Menurut Syamsir, gas dari produsen harus melewati lima lapis ‘pemain’ yang memperpanjang rantai distribusi. Ini berakibat harga gas di Indonesia melambung sangat tinggi.
“Coba dibayangkan, begitu gas keluar dari mulut sumur (well head), harganya hanya USD 4 hingga USD 5 per MMbtu. Namun, begitu sampai di industri, harganya bisa bengkak hingga dua kali lipat mencapai USD 9 hingga USD 10 MMbtu,” ujar dia.
Syamsir menambahkan, tingginya harga gas di dalam negeri karena banyak pemain, mulai dari transporter, distributor, dan lainnya. “Rantainya panjang sekali. Lapisan itu bisa empat sampai lima,” jelas dia.
Dia berkomentar, banyaknya pemain yang terlibat dalam rantai distribusi gas di Indonesia tak lepas dari terlalu bebasnya regulasi perdagangan gas di Indonesia sejak 2001.
Syamsir menegaskan, saat ini campur tangan pemerintah sangat diperlukan. Pemerintah harus bisa bertindak sebagai pengendali pasar di industri gas, karena sektor ini merupakan sektor inti.
“Menurut amanah UU Migas memang harus dikendalikan pemerintah. Maksud saya ini persoalan leadership (kepemimpinan). Negara harus powerful (punya hak mengendalikan). Harus tetap dikendalikan. Ada market operator. Kalau orang keluar jalur harus samperin (datangi),” kata dia.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) juga mengeluhkan persoalan tingginya harga gas. “Bahkan pelaku industri tekstil harus membeli gas dengan harga USD 12 per MMbtu. Biasanya pengusaha tekstil harus membeli gas dari trader,” ungkap Sekjen API Ernovian G Ismy.
Panjangnya rantai pasokan gas dari sumber hingga ke industri, lanjut dia, yang membuat harganya jadi mahal. “Ada biaya tambahan yang dikenakan oleh trader. Ini membuat harga gas jadi tinggi sekali,” jelas Ernov.
Ernov mengatakan, mahalnya harga gas membuat industri tekstil Indonesia sulit bersaing dengan industri tekstil di negara tetangga. “Dari komponen biaya energi saja, Indonesia sudah kalah efisien sampai 50 persen atau lebih,” ujarnya.
Reporter : Ponco Sulaksono