Eksplorasi.id – Kinerja selama tiga tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di berbagai bidang dinilai cukup baik dan signifikan, termasuk capaian kemandirian energi.
Kendati belum semua target dicapai, namun kebijakan dan langkah dalam pencapaian energi dinilai sudah sudah pada jalur yang tepat (the right traack). Kebijakan energi pemerintahan Jokowi yang berdampak besar, antara lain pengalihan subsidi BBM dari konsumsi ke sektor produktif, dengan cara mencabut subsidi premium danmengurangi subsidi solar.
Pengurangan beban subsidi melalui penaikan harga BBM sesungguhnya sesuai dengan visi dan misi Jokowi-JK yang dijanjikan. Saat kampanye pilpres, tim sukses Jokowi-JK melontarkan pernyataan bahwa pemerintahan Jokowi akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan.
Pengurangan subsidi itu dilakukan dengan mengalihkan subsidi untuk konsumsi dialihkan pada kegiatan produktif, terutama untuk pembangunan infrastruktur. Pada 2014, pemerintah masih memberikan subsidi BBM sebesar 46,79 juta kiloliter (kl) turun drastis menjadi 7,15 juta kl pada semester I/2017. Sedangkan subsidi elpiji dari 4,99 juta metrik ton (mt) diturunkan menjadi 3,10 juta mt.
Demikian juga dengan kebijakan BBM Satu harga, tidak hanya menciptakan keadilan, tetapi juga memberikan multiplier effect di daerah-daerah Indonesia bagian timur.
Kebijakan ini memang sangat mulia, utamanya bagi rakyat Papua. Pasalnya, harga premium di Papua selama ini bekisar antara Rp 25 ribu hingga Rp 100 ribu per liter, bandingkan dengan harga premium di Jawa hanya sebesar Rp 6.450 per liter.
Hingga akhir September 2017, penerapan kebijakan BBM Satu Harga sudan mencapai 59 lokasi dari 157 lokasi yang ditargetkan dicapai pada 2019. Selain capaian itu, penerimaan negara dari sektor migas juga mengalami penurunan secara drastis, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi.
Pada 2014, penerimaan migas masih sekitar Rp 320,25 triliun, lalu turun menjadi Rp 92,43 triliun pada semester I/2017. Penurunan pendapatan dari sektor migas lebih banyak disebabkan adanya penurunan harga minyak dunia dan lifting migas Indonesia.
Tiga tahun lalu, harga minyak dunia masih bertengger sekitar USD 61, 23 per barel turun menjadi USD 57,75 per barrel. Sementara lifting migas pada 2014 masih mencapai 794 ribu barel per hari (bph) turun menjadi 729 ribu bph pada semester I/2017, masih lebih rendah ketimbang target lifting yang ditetapkan pada APBN sebesar 815 ribu bph.
Ambilalih Blok Mahakam
Mengatasi penurunan lifting dan meningkatkan kemandirian energi, pemerintahan Jokowi mengambilalih beberapa lahan migas dari kontraktor asing, yang kontraknya sudah berakhir, lalu menyerahkan pengelolaan kepada PT Pertamina (Persero).
Misalnya, setelah lebih 50 tahun Blok Mahakam dikuasai Total E&P Indonesie kemudian diserahkan kepada Pertamina pada 2018, saat kontrak berakhir. Meskipun, Total E&P Indonesie masih diberikan kesempatan untuk memiliki saham hingga 39 persen, namun Pertamina akan bertindak sebagai operator Blok Mahakam.
Pengalihan pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie ke Pertamina akan menjadi ‘preseden baik’ bagi negeri ini. Pertamina akan semakin PD alias percaya diri dalam setiap pengambilalihan lahan migas dari kontraktor asing, sehingga semakin meningkatkan akumulasi kemampuan Pertamina dalam pengelolaan lahan migas.
Akumulasi kemampuan itu akan sangat berguna pada saat Pertamina mengoperasikan lahan migas di luar negeri, yang diakuisisi oleh Pertamina.
Mengubah Kontrak Freeport
Demikian juga dengan upaya pengambilalihan PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan capaian kinerja yang patut diacungi jempol. Keberhasilan dalam perundingan dengan PTFI antara lain, mengubah kontrak karya (KK) menjadi izin usaha khusus pertambangan (IUPK).
Tiga syarat yang ditetapkan pemerintah kepada PTFI, seperti smelterisasi, divestasi 51 persen saham, dan tax rezime, merupakan wujud nyata pencapaian kemandirian energi pemerintahan Jokowi.
Persetujuan PTFI itu menunjukkan bahwa posisi Indonesia saat ini di atas angin dalam proses perundingan dengan PTFI. Hanya persetujuan PTFI terkait mekanisme dan metode penetapan harga saham divestasi 51 persen masih harus dirundingkan lebih lanjut.
Jeblok di Listrik
Meskipun capain kinerja kemandirian energi pemerintahan Jokowi cukup menggebirakan, namun masih ada yang ‘jeblok’, salah satunya adalah capaian pembangunan listrik 35 ribu MW. Mega proyek, yang ditargetkan selesai pada 2019 mencakup 109 proyek.
Rinciannya, sebanyak 35 proyek pembangkit dibangun oleh PT PLN (Persero) dengan total kapasitas 10.681 MW, dan sebanyak 74 proyek dengan total kapasitas 25.904 MW diserahkan kepada perusahaan swasta dalam skema independent power producer (IPP).
Hingga memasuki tahun ketiga pemerintahan Jokowi, capaiannya masih sangat rendah. Data PLN menunjukkan, dari 35 ribu MW baru 639 MW atau 0,02 persen yang sudah beroperasi secara komersial (commercial operation date/COD).
Sisanya, sebesar 10.442 MW atau sekitar 29,83 persen baru memasuki tahap konstruksi. Sedangkan sebesar 7.533 MW atau sekitar 21,52 persen dalam tahap perencanaan.
Lalu, sebesar 8.217 MW atau sekitar 23,47 persen baru tahap pengadaan, dan 8.806 MW atau sekitar 25,16 persen sudah diserahkan ke IPP tetapi belum memasuki tahapkonstruksi.
Rendahnya capaian tersebut menjadi alasan bagi berbagai pihak untuk mendesak pemerintah merevisi proyek 35 ribu MW, baik revisi terhadap besaran 35 ribu MW yang dianggap terlalu besar maupun revisi terhadap target waktu penyelesaian.
Revisi terhadap waktu penyelesaian masih bisa ditoleir. Namun kalau revisi dengan memangkas 35 ribu MW menjadi 20 ribu MW barangkali akan menimbulkan permasalahan serius bagi pembangunan industri.
Alasannya, penetapan 35 ribu MW sudah didasarkan pada sisi kebutuhan (demand based) untuk mememuhi 100 persen electricity rate, yang saat ini masih mencapai 92 persen.
Selain itu, kapasitas listrik 35 ribu MW juga dibutuhkan untuk memasok perkiraan peningkatan permitaan industri yang menopang pencapaian pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen.
Meskipun pemerintah akan menunda waktu realisasi penyelesaian proyek kelistrikan 35 ribu MW, namun pemerintah masih memprioritaskan percepatan elektrifikasi di wilayah perdesaan Indonesia.
Melalui Peraturan Menteri ESDM No 38/2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan, pemerintah berkomitmen untuk mempercepat elektrifikasi di 2.500 desa yang belum berlistrik, dengan prioritas perdesaan belum berkembang, perdesaan terpencil, perdesaan perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk.
Prioritas elektrifikasi perdesaan menunjukan komitmen pemerintah pada rakyat di predesaan. Komitmen serupa juga ditunjukan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik hingga akhir 2017 dan tetap memberikan subsidi listrik kepada pelanggan 450 VA, serta 30 persen pelanggan 900 VA, yang termasuk kategori keluarga miskin dan rentan miskin.
Target kemandirian energi memang belum sepenuhnya dicapai pada tiga tahun pemerintahan Jokowi, bahkan di akhir periode pertama masa bakti Presiden Jokowi pada 2019 diperkirakan belum juga akan tercapai.
Agar target pembangunan kemandirian energi dapat dicapai secara tuntas, ada urgensi bagi Jokowi untuk melanjutkan masa bakti presiden periode kedua pada 2019-2024.
Pergantian presiden pada 2019 dikhawatirkan berdampak pada pembangunan kemandirian energi yang belum selesai, di mana tidak akan pernah dilanjutkan oleh presiden baru, seperti yang terjadi selama ini.
Oleh: Dr Fahmy Radhi MBA*
*Pengamat Ekonomi Energi UGM, mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas.