Eksplorasi.id – Aparat keamanan perlu menindak tegas beragam potensi dan kasus korupsi yang terdapat di berbagai perusahaan yang beroperasi di sektor pertambangan sebagai upaya mengurangi kerugian negara.
“Kasus dugaan korupsi 12 tambang batubara di Sawahlunto merupakan zoom in dari potret korupsi sektor tambang di Indonesia. Kerugian negara dari sektor tambang terjadi di multilevel kehidupan,” kata Manager Kampanye Walhi Edo Rahman di Jakarta, Rabu (22/06).
Menurut Edo Rahman, kerugian negara dimulai dari potensi pendapatan, penjarahan sumber daya alam kayu, dan degradasi multilevel value ekonomi komunitas.
Selain itu, lanjutnya, kerugian juga dapat mengakibatkan beban negara dalam pemulihan lingkungan hidup di berbagai daerah.
“Selain upaya pencegahan oleh KPK selama ini, proses penegakan hukum tipikor sangatlah penting untuk dilakukan di setiap provinsi guna menghentikan kejahatan berjamaah pengusaha dan pejabat penyelenggara negara,” katanya.
Sebagaimana diketahui, Walhi telah melaporkan dugaan korupsi tambang batubara oleh 12 perusahaan di Sawahlunto ke KPK karena menurut Walhi, perusahaan tersebut diduga kuat tidak membayar royalti dan landrent sesuai jumlah yang ditentukan.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan dalam sejumlah kesempatan menyatakan, kondisi perlambatan ekonomi yang dirasakan secara nasional pada saat ini sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk mengurangi penggunaan batubara dalam program kelistrikan di Tanah Air.”Ekonomi melambat saat tepat bagi Pemerintah kurangi batubara dalam rencana listrik 35.000 MW,” katanya.
Menurut dia, karena itu pelambatan ekonomi menjadi momen tepat untuk melakukan konservasi sumber daya alam, bukan justru mengeksploitasinya secara besar-besaran.
Hal tersebut, lanjutnya, dapat dilakukan dengan mengembangkan energi terbarukan semakin tepat karena biaya lingkungan dan sosial dari energi fosil seperti batubara dinilai justru akan makin memperlambat ekonomi.
Apalagi, ia mengemukakan bahwa perlambatan ekonomi yang sedang terjadi pada saat ini juga telah tercermin dalam konsumsi batubara PLN, yang diperkirakan pada tahun 2015 ini hanya 61 juta ton dari target 91 juta ton.
Sementara itu, peneliti Unit Kajian Walhi Pius Ginting menyatakan saat ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintah guna melakukan perubahan atas program listrik 35.000 MW.
“Program tersebut di dominasi pembangkit listrik menggunakan batubara di Pulau Jawa, yakni sebanyak 12.400 MW. Sementara itu, diluar Pulau Jawa banyak mengalami krisis, Sumatera Utara dan Aceh kekurangan listrik sebanyak 9 persen,” kata Pius.
Ia menambahkan, di sekitar daerah pembangkit yang menggunakan batubara di Jawa, masyarakat dinilai menderita dampak negatif dari kegiatan batubara, diantaranya penurunan produktivitas pertanian, hilangnya tangkapan nelayan, dan penurunan kualitas kesehatan. (Eksplorasi/Ant/Top)