Eksplorasi.id – Umumnya, tingkat keekonomian pada tahapan ini dibuat dengan berbagai sensitivitas pada berbagai asumsi jangka panjang yang berbeda-beda untuk memastikan bahwa keekonomian proyek tergolong robust terhadap potensi terjadinya downsides, sementara potensi upsides juga harus menjanjikan keekonomian yang lebih baik agar keseimbangan risiko keekonomian jangka panjang tetap secara keseluruhan terjaga.
Beberapa investor juga menghitung keekonomian pada tahapan ini secara full-cycle sejak eksplorasi point forward untuk melihat keekonomian secara menyeluruh, mengingat investasi sesungguhnya sudah dimulai sejak penandatanganan kontrak wilayah kerja, sementara biaya eksplorasi, appraisal dan pra FID jumlahnya sangat besar serta jangka waktu sejak dimulainya eksplorasi hingga tercapainya FID bisa sangat panjang (lebih dari sepuluh hingga lima belas tahun).
Tingkat keekonomian saat tahapan operasi produksi umumnya dihitung untuk optimisasi kegiatan operasi lapangan, termasuk upaya untuk menahan laju penurunan produksi (dengan berbagai kegiatan seperti infill drilling, workover, enhanced recovery, dll).
Tingkat keekonomian yang diharapkan oleh investor hulu migas juga bersifat relatif pada berbagai tingkat harga migas. Berbagai studi menunjukkan bahwa saat harga minyak tinggi di atas USD 100 per bbl, maka biaya operasi juga jauh lebih mahal dikarenakan adanya inflasi, sehingga umumnya biaya investasi dan operasi berada di kisaran USD 60 – USD 70 per bbl.
Saat harga minyak berkisar USD 40 – USD 50 per bbl, biaya investasi dan operasi berada di tingkatan USD 20 – USD 30 per bbl, itu pun sudah mencerminkan deflasi maupun pemotongan dan penghematan biaya yang dengan sendirinya menurunkan tingkat produksi lapangan.
Wacana untuk memperkenalkan konsep gross split kepada investor PSC konvensional di Indonesia, sebagaimana saya tuliskan, perlu dikaji secara mendalam dan bersama dengan berbagai pihak, termasuk dan terutama para pelaku industri hulu migas itu sendiri.
Konsep gross split PSC pada dasarnya adalah serupa dengan konsep royalty and tax yang dikenal umum secara global di kebanyakan negara lain. Bagian negara di tingkat gross split pada dasarnya adalah royalty in kind.
Royalty in kind atau in cash di tingkatan produksi atau revenue gross di berbagai negara yang menganut konsep royalty and tax umumnya berkisar antara 5 persen hingga 15 persen (tertinggi ada yang mencapai 20 persen dan 30 persen di Venezuela).
Ini berarti bahwa 85 persen hingga 95 persen sisanya akan tersedia untuk menutupi biaya investasi dan operasi dan untuk membayar pajak atas profit yang dihasilkan pihak investor dengan tingkat keuntungan yang dianggap memadai bagi pelaku industri hulu migas.
Lihat tautan berikut ini :
- https://loc.gov/law/help/crude-oil-royalty-rates/index.php
- http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/EY-2015-Global-oil-and-gas-tax-guide/%24FILE/EY-2015-Global-oil-and-gas-tax-guide.pdf
- https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/ro/Documents/energy-resources/Deloitte-Royalties_upstream_14_feb_2015_EN.pdf
Apabila Indonesia ingin menawarkan bentuk petroleum contract baru secara gross split yang kompetitif secara fiscal contractual regime, maka besaran gross split tentunya harus bersaing dengan fiscal terms di negara lain, terutama dengan negara-negara yang menjadi saingan Indonesia sebagai negara tujuan investasi hulu migas.
Juga patut dicermati, pada PSC konvensional tradisional, sesungguhnya FTP adalah sudah merupakan bentuk royalti yang diambil pada tingkatan gross yang sekalipun untuk sebagian besar PSC dibagi dengan kontraktor secara pre-tax (dan semestinya bagian FTP KKKS tidak taxable sebelum tercapainya equity to be split) sesungguhnya sudah berada pada tingkatan yang mirip dengan di berbagai negara lain, tanpa harus diubah menjadi gross split PSC.
Besaran royalti atau gross split bagian negara yang terlalu besar akan sulit bersaing dengan fiscal regime di negara lain, mengingat tarif pajak penghasilan korporasi dan pajak dividen di Indonesia juga tergolong tinggi.
Belum lagi bila dilihat bahwa prospek penemuan cadangan di Indonesia dan lingkungan birokrasi serta regulasi di Indonesia juga tidak dapat dikatakan lebih baik daripada di negara pesaing. Apabila FTP di PSC tradisional telah relatif setara dengan royalti di negara lain, sementara cost recovery sesungguhnya serupa dengan tax deductibility, maka faktor pajak total atas profit yang dihasilkan oleh KKKS akhirnya yang akan menentukan tingkat competitiveness keekonomian di PSC Indonesia, mungkin justru tanpa harus mengganti bentuk kontrak menjadi gross split PSC.
Pembeda di sini adalah fakta bahwa tingkat tarif pajak di Indonesia yang tergolong tinggi juga bersifat kaku dan tidak fleksibel sebagai penyeimbang keekonomian investor. Di negara lain, selain tarif pajak korporasi dan dividen yang berlaku umum, seringkali pada umumnya terdapat petroleum tax yang besarannya disesuaikan dengan kondisi keekonomian khusus untuk hulu migas dengan aturan yang jelas di mana saat terjadinya windfall profit (harga minyak yang tinggi) maka tarif petroleum tax dapat dinaikkan secara fair dan pada saat terjadinya downsides maka dapat diturunkan atau ditiadakan.
Comments 1