Eksplorasi.id – Sejumlah pihak yang ingin membeli minyak dengan harga murah bisa memakai pola yang diterapkan oleh PT Tri Wahana Universal (TWU), yakni dengan membangun kilang mini.
Bahkan, pembelian minyak dengan harga murah tersebut mendapat dukungan penuh dari Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dan Anggota VII BPK Achsanul Qosasi, asalnya bisa membuat perekonomian masyarakat sekitar terangkat.
“Cara berpikir Amien Sunaryadi dan Achsanul itu sesat! Sudah jelas TWU membeli minyak di bawah harga rata-rata minyak nasional (Indonesia Crude Price/ICP) masih dibela. Bahkan ironisnya TWU membeli minyak tersebut tanpa tender,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Selasa (7/6).
Yusri pun menduga telah terjadi pelanggaran regulasi dengan adanya ‘pembiaran’ TWU membeli minyak di bawah ICP. “Buat apa regulasi dibuat kalau hanya untuk dilanggar? Amien dan Achsanul seakan pasang badan untuk TWU, ini ada apa?” ujar dia.
Sebelumnya, Amien Sunaryadi saat diskusi pleno acara tahunan para pelaku usaha migas IPA ke-40 di JCC, Jakarta, Jumat (27/5), menganggap bahwa cara berpikir BPK keliru dalam hasil-hasil auditnya. Hasil audit BPK seringkali menjadi penghambat usaha hulu migas memberikan dampak berganda pada perekonomian masyarakat sekitar.
Amien mengatakan, dalam hasil auditnya BPK menemukan harga jual minyak yang diberikan kepada TWU dianggap lebih murah dibandingkan harga jual minyak ke tempat lain. BPK menilai ini bisa termasuk tindakan korupsi.
Padahal meski harga jualnya murah, penjualan ke TWU bisa membuat perekonomian masyarakat sekitar bisa terangkat. “Karena SKK Migas menyetujui harganya lebih rendah, maka akan dituduh melakukan korupsi. Ini otaknya BPK. Saya sudah sampaikan, Anda (BPK) berpikirnya salah,” jelas Amien.
Bahkan, Amien menganggap BPK tidak membaca Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi secara menyeluruh. Dalam aturan ini disebutkan yang termasuk kategori korupsi adalah merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian negara. Sedangkan dalam kasus ini tidak merugikan perekonomian negara.
Ironisnya, BPK pun seakan ‘takluk’ akan komentar Amien tersebut. BPK lalu mengakui bahwa tidak ada kerugian negara dalam penjualan minyak mentah dari Blok Cepu ke kilang milik TWU.
Bahkan, BPK merekomendasikan agar pemerintah memberikan harga minyak yang lebih murah untuk mendukung pengembangan kilang mini. “Bukan, bukan kerugian negara. Ada potensi penerimaan yang hilang saja,” kata Anggota VII BPK Achsanul Qosasi di Auditorium Gedung BPK, Jakarta, Selasa (31/5).
Menurut Achsanul, potensi penerimaan negara yang hilang tidak mencapai triliunan rupiah. Semula, hasil awal audit BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar USD 3,6 juta atau sekitar Rp 47 miliar dari penjualan minyak Blok Cepu kepada TWU sepanjang April–Desember 2015.
Yusri Usman menambahkan, kasus pembelian minyak mentah oleh TWU tersebut bisa masuk kerugian negara karena ada bagian negara yang hilang. “Bahkan, kilang milik TWU akhir Januari lalu yang berlokasi di Desa Sumengko, Kecamatan Gayam, Bojonegoro tutup beroperasi karena harus membeli minyak dengan harga FSO Gagak Rimang bukan di mulut sumur. Ini menandakan sudah ada masalah,” kata dia.
Elan Biantoro saat masih menjabat sebagai kepala Bagian Humas SKK Migas pernah mengatakan, pihaknya tetap berkukuh bahwa TWU harus melakukan pembelian di FSO Gagak Rimang.
Kebijakan ini diambil karena di Lapangan Banyu Urip hanya CPF yang beroperasi. Sebab, kontrak sewa lahan di fasilitas EPF telah berakhir pada 18 Januari 2016. “Ini sudah menjadi keputusan. Kalau mereka (TWU) tidak bersedia membeli dengan ketentuan tersebut, itu hak mereka. Kami hanya menjalankan amanat regulasi yang ada,” kata Elan.
Senada dengan Elan, Vice President for Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro pernah berkomentar, pihaknya mendukung langkah SKK Migas yang mewajibkan TWU membeli minyak dengan harga di FSO Gagak Rimang, bukan di mulut sumur. “Kalau TWU beli dengan harga mulut sumur, itu tidak adil. Kami (Pertamina) yang akan mengalami kerugian,” tegas dia.
Mantan Dirut Pertamina Ari Hernanto Soemarno pun ikut berkomentar perihal tersebut. Dia mengatakan, berdasarkan kontrak lama, jika tidak salah TWU memeroleh harga diskon USD 3,5 per barel dari ICP.
“Dulu diskon diberikan karena fasilitas pengapalan crude oil (FSO) belum ada. Sekarang karena sudah ada seharusnya tidak ada justifikasi lagi untuk memberikan diskon. Bisa saja kasih alasan itu untuk kilang dalam negeri, tapi pembenaran dari segi pendapatan bagi negara dan kontraktor bagi hasil yang berkurang jadi bagaimana,” kata Ari kepada Eksplorasi.id.
Dia menambahkan, jika TWU diberikan diskon kembali itu sama saja identik dengan memberikan subsidi kepada TWU agar perusahaan itu bisa untung. “(Jika diskon diberikan) bisa ada unsur merugikan negara. Ini bisa masuk unsur korupsi,” jelas Ari.
Heri
Comments 1