Eksplorasi.id – Komentar Deputi Operasi SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman terkait kondisi kahar (government force majeure) Lapangan Kepodang di Blok Muriah dinilai terlalu lancang dan terkesan tergesa-gesa.
Pernyataan tersebut dilontarkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman di Jakarta, Jumat (11/8) malam.
“Terlalu pagi dan terkesan lancang komentarnya Fatar Yani yang menyatakan bahwa produksi Lapangan Kepodang tidak bisa memproduksi gas untuk memenuhi kontraknya dengan PT PLN (Persero) guna memenuhi kebutuhan PLTGU Tambak Lorok hingga 2026,” kata dia kepada Eksplorasi.id.
Yusri menilai bahwa Fatar Yani terkesan menyalahkan pemilik lama lapangan itu, yakni BP, akibat kondisi kahar tersebut. Blok Muriah diketahui saat ini dioperatori oleh perusahaan migas asal Malaysia, Petronas Carigali Muriah Ltd.
Sebelumnya, pada Rabu (9/8), Fatar Yani berkomentar bahwa lapangan yang baru berproduksi pada 2015 itu hanya mampu berproduksi hanya 116 MMscfd hingga 2018.
“Bukan salah prediksi atau estimasi saja. Salah satu penyebab terjadinya kahar adalah volume gas dalam plan of development (PoD) yang disusun operator lama, yaitu BP tidak sesuai produksi yang didapat Petronas Carigali,” kata Fatar Yani.
“Pertanyaan bodoh harus saya ajukan apakah komentar Fatar Yani itu merupakan sikap resmi SKK Migas atau pernyataan pribadi dia? Kesimpulan saya, jelas Fatar Yani menyalahkan BP. Ini ibarat muka buruk cermin dibelah. Bodohnya dia, tapi malah menyalahkan orang lain,” jelas Yusri.
Yusri mengungkapkan, sebelum menjabat sebagai deputi Operasi SKK Migas, Fatar Yani pernah bekerja di Petronas Carigali dengan jabatan terakhir sebagai operations manager. “Fatar Yani baru dilantik oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan sebagai deputi Operasi SKK Migas pada Mei 2017 menggantikan Muliawan,” ujar dia.
Komentar Yusri, semestinya Fatar Yani paham bahwa terkait dengan keadaan kahar dari Lapangan Kepodang ada sejumlah hal yang harus diklarifikasi sebelum menghakimi dan menyalahkan BP.
“Apakah pada saat Petronas Carigali mengambilalih saham dari BP mereka telah melakukan uji tuntas (due diligence) yang betul atas sertifikasi cadangan (reserves certification) dan hasil sebelum rencana pengembangan (pre POD),” jelas dia.
Kemudian, lanjut Yusri, apakah POD yang diajukan dan disetujui oleh menteri ESDM atas rekomendasi SKK Migas dan telah di verifikasi Ditjen Migas? “Apakah benar Petronas Carigali telah melakukan review total atas data cadangan gas terbukti (disertifikasi) dan interpretasi data seismik?” katanya.
Pendapat Yusri, kontrak bagi hasil (production sharing contract/ PSC) menyebutkan bahwa semua kegiatan eksplorasi dan pengembangan menjadi risiko kontraktor. “Maka kejadian ini menjadi tanggungjawab penuh Petronas Carigali,” katanya.
Pendapat dia, sekiranya ada tiga kerugian yang dialami Petronas Carigali. Pertama, depresiasi atas semua biaya biaya-yang telah dikeluarkan (cost recovery) menjadi beban kerugian kontraktor. Petronas harus mampu mencari solusi agar kerugian besar atas kejadian ini tidak terulang.
Kedua, ada kemungkinan risiko pinalti dari pembeli (offtaker) gas yang tertera dalam perjanjian jual beli gas (sales and purchase agreement/ SPA) atau kemungkinan terkena denda apabila dibawa ke arbitrase.
Ketiga, bila cadangan gas yang sudah disertifikasi oleh sebuah lembaga dijadikan jaminan (collateral) saat adanya pembiayaan proyek pengembangan, maka Petronas Carigali harus memberikan jaminan tambahan dan beban bunga atas pinjaman pembiayaan proyek (project financing loan).
“Padahal, jika Petronas Carigali patuh dan taat asas terhadap prosedur standar operasi dalam tahap uji tuntas akuisisi blok migas, mungkin kasus Lapangan Kepodang tidak akan terjadi,” terang Yusri.
Penegasan Yusri, kondisi tersebut menjadi bukti bahwa SKK Migas telah gagal melakukan tugasnya sebagai fungsi pengawasan dan mengontrol dari pemerintah untuk melakukan review atas data-data yang diberikan oleh Petronas Carigali. “Anehnya malah dengan mudahnya memberikan rekomendasi kepada menteri ESDM.”
Konsekuensinya kerugian dari sisi pemerintah, imbuh dia, selain telah mengeluarkan dana penggantian biaya operasi, investasi dan biaya tertanam (sunk cost) kepada Petronas Carigali bisa mencapai sekitar USD 400 juta (cost recovery).
“Kerugian lainnya adalah hilangnya potensi pendapatan tambahan negara hasil penjualan gas (equity to be split) dari blok ini. Belum lagi kerugian yang diderita anak usaha BUMN seperti PT PGN Tbk (Persero), PT Saka Energi Indonesia,” ujarnya.
Kontraktor swasta nasional, terang Yusri, seperti PT Bakrie & Brothers Tbk pun akan mengalami kerugian karena telah membangun jaringan pipa sepanjang 207 km.
“Belum lagi PT PLN (Persero) yang harus mencari gas pengganti, di mana mungkin harganya lebih mahal untuk jaminan suplai kebutuhan PLTGU Tambak Lorok hingga 2026 sesuai kontrak,” jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, kondisi kahar itu juga akan berdampak kepada iklim investasi migas nasional, karena kejadian ini akan memberikan gambaran bahwa risiko investasi bukan hanya pada tahapan eksplorasi, namun juga dapat terjadi juga pada tahapan produksi.
“Karena kasus Lapangan Kepodang mungkin merupakan kejadian pertama dalam sejarah investasi migas selama 72 tahun kita merdeka, seharusnya KPK memberikan perhatian serius menyidik kasus ini,” katanya.
KPK, kata Yusri, harus menelisik semua data-data teknis dan sertifikasi cadangan gas terbukti yang dikeluarkan oleh lembaga itu apakah valid datanya atau tidak.
“Terakhir, untuk menghindari konflik kepentingan dalam proses penyidikan ini, sebaiknya Fatar Yani dinonaktifkan selamanya sebagai deputi Operasi SKK Migas, karena terkesan dia hanya ingin menyelamatkan Petronas Carigali dan merugikan negara Indonesia,” terangnya.
Reporter : HYN