Eksplorasi.id – Pemerintah melalui Kementerian ESDM diminta tidak memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Rokan yang saat ini dikelola PT Chevron Pacific Indonesia, dan kontraknya akan berakhir pada 2021.
Direktur Eksekutif 98 Institute Sayed Junaidi Rizaldi mengatakan, sudah saatnya pengelolaan Blok Rokan dipercayakan kepada PT Pertamina (Persero).
“Sudah puluhan tahun Chevron diberikan hak untuk mengelola Blok Rokan. Sudah saatnya sekarang gantian dengan Pertamina. Pemerintah harus memprioritaskan Pertamina jika ingin BUMN migas kita menjadi besar,” kata dia di Jakarta, Rabu (25/7).
Sayed menjelaskan, semestinya setiap kontrak migas yang sudah berakhir diserahkan terlebih dahulu kepada Pertamina apakah BUMN itu bersedia mengelola atau tidak.
“Apalagi untuk Blok Rokan manajemen Pertamina menyatakan sanggup mengelola blok itu, bahkan mereka berjanjia akan mempertahankan kemudian mengupayakan lebih meningkat produksinya,” ujar dia.
Sayed berkomentar, jika pemerintah tidak memberikan keistimewaan kepada Pertamina, terutama terhadap pengelolaan blok migas yang menghasilkan produksi cukup besar, dipastikan Pertamina tidak akan menjadi besar.
“Di sinilah keberpihakan negara kepada BUMN harus berjalan. Jangan biarkan Pertamina berjalan sendiri tanpa dukungan dari pemerintah,” jelas pria yang pernah duduk sebagai ketua panitia pelaksana acara Rembuk Nasional Aktivis 98, baru-baru ini.
Komentar dia, pemerintah jangan tergoda dengan nilai investasi yang akan dikucurkan Chevron bisa kembali mengelola Blok Rokan.
“Saya sangat yakin, apalagi saya asli putra daerah dari Riau, bahwa Pertamina bisa mengelola Blok Rokan. Pertamina bisa bergandeng tangan dengan BUMD untuk mengelola blok itu,” tegas dia.
Penjelasan Sayed, adanya lobi yang dilakukan petinggi Chevron dengan bertemu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pada hari ini menunjukkan bahwa perusahaan migas asal Amerika Serikat itu tetap berkeinginan ‘menguasai’ Blok Rokan.
“Ini tidak serta merta soal uang dan nilai investasi. Ini soal kebanggaan dan nasionalisme bahwa Pertamina bisa mengelola blok migas yang produksinya cukup besar,” terang dia.
Terpisah, hari ini Managing Director Chevron Chuck Taylor yang mengajukan minat kembali megelola Blok Rokan, dan bertemu dengan Menteri Luhut.
Chevron ‘menggoda’ pemerintah Indonesia dengan iming-iming akan menggelontorkan dana hingga USD 88 miliar atau setara Rp 1.277 triliun (kurs Rp 14.518 per USD) untuk kembali mengelola Blok Rokan.
Luhut menyatakan, nilai investasi yang ditawarkan terbagi dua, dengan kurun waktu 10 tahun pertama bernilai USD 33 miliar, kemudian di 10 tahun selanjutnya bernilai USD 55 miliar.
Klaim Chevron, dengan menggunakan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), perusahaan itu mampu menghasilkan hingga 1,2 miliar barel sepanjang 20 tahun.
“Chevron memang punya teknologi. Dia bisa meningkatkan kapasitas cadangan dari blok itu ke 1,2 miliar barel,” kata Luhut.
Menurut Luhut, pascakontrak berakhir pada 2021, Chevron menjanjikan bisa mendapatkan 500 juta barel dalam 10 tahun pertama, kemudian 700 barel di 10 tahun sisanya.
“Jadi dia (Chevron) bisa mendapatkan 500 juta barel, dengan investasi USD 33 miliar. Kemudian fase kedua 700 juta barel, dengan dia investasi USD 55 miliar, itu selama 20 tahun,” ucap dia.
Pertamina Berminat
Sebelumnya, manajemen Pertamina telah mengirim surat permohonan resmi kepada Kementerian ESDM untuk mengelola Blok Rokan. Bahkan, Pertamina meminta 100 persen saham Blok Rokan untuk 20 tahun ke depan.
Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto pernah mengatakan, Pertamina memohon pengelolaan setelah melakukan pembukaan data di blok itu. “Setelah open data, Pertamina ajukan permintaan,” kata dia pada 4 Juli lalu.
Melalui surat bernomor R-069/D00000/2018-S0, Pertamina mengajukan permintaan itu ke dirjen Migas Kementerian ESDM pada 28 Juni 2018.
Berdasarkan surat tersebut, Pertamina menginginkan 100 persen participating interest (PI) Blok Rokan untuk kontrak 20 tahun mulai dari 2021 hingga 2041.
Selain itu, berdasarkan keterangan Djoko, Pertamina dalam proposalnya menawarkan penggunaan teknologi EOR sama seperti yang dilakukan PT Chevron Pacific Indonesia selaku operator di Blok Rokan saat ini.
Pertamina bahkan menyebut akan melanjutkan hingga meningkatkan penggunaan teknologi EOR di Blok Rokan yang selama ini telah dijalani oleh Chevron.
Sekedar informasi, saat ini Chevron telah menerapkan penggunaan teknologi EOR dengan metode waterflood, steamflood dan chemical EOR (tahap ujicoba).
Kemudian, Pertamina pun berencana mengembangkan produksi di lapangan eksisting di Blok Rokan dan mengembangkan potensi ekplorasi untuk reservoir non konvensional (shale hydrocarbon).
Pertamina mengklaim akan mengoptimalkan pendapatan negara jika pengelolaan Blok Rokan diberikan ke Pertamina.
Salah satunya adalah penguatan kedaulatan dan ketahanan energi nasional. Hal ini lantaran produksi Blok Rokan bisa menyumbang minimal 25 persen dari produksi nasional atau sebesar 230 ribu barel per hari (bph).
Jika Blok Rokan dikelola Pertamina, impor minyak mentah akan berkurang dan meningkatkan efisiensi pengadaan bahan baku minyak mentah bagi kilang dalam negeri. Sehingga bisa berpotensi menghemat devisa negara.
Terakhir, Pertamina mengklaim pengelolaan Blok Rokan akan membentuk sinergi dan integrasi dengan blok migas Pertamina lainnya di sekitar Blok Rokan.
Selain itu, Pertamina menjanjikan akan mengelola Blok Rokan dengan menggunakan produk barang dan jasa dalam negeri.
Seperti diketahui, pasal 7 Peraturan Menteri ESDM No 23/2018 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir Kontrak Kerja Samanya, memang disebutkan, Pertamina dapat megajukan permohonan kepada menteri ESDM untuk wilayah kerja yang akan berakhir masa kontraknya.
Terkait signature bonus Blok Rokan yang mencapai USD 500 juta, manajemen Pertamina memastikan siap membayar, karena semua pasti dengan pertimbangan keekonomian.
Sejarah Blok Rokan
Blok Rokan terutama ladang minyak Minas telah dikuasai asing jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni sejak 1924. Pada waktu itu, Standar Oil Company of California (Socal) mengirimkan seorang ahli geologinya yang bernama Richard N Nelson ke Sumatera Tengah untuk melakukan penelitian.
Kemudian, pada 1938, seorang ahli geologi dari Amerika yang bernama Walter E Nygrem ditugaskan untuk mempelajari daerah di sekitar pohon Minei, yang hari ini disebut Minas.
Penelitian Nygrem menyimpulkan kemungkinan adanya cekungan minyak di daerah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih komprehensif dengan cara melakukan pengeboran.
Menindaklanjuti hasil penelitian Nygrem tersebut, pada 1939 diutus seorang ahli geologi lainnya yang bernama Richard H Hopper dengan tugas utamanya melakukan pengeboran.
Hopper melakukan pengeboran dengan bor tangan counterflash yang mampu menembus kedalaman 1.500 kaki, atau sekitar 450 meter. Hasil pengeboran ini memperkuat hasil penelitian Nygrem sebelumnya.
Lalu dilanjutkan dengan pemetaan seismik pada 1940 yang menunjukkan adanya suatu anticline atau cembung yang sangat besar dan berlipat-lipat yang sangat ideal bagi akumulasi minyak.
James P Fox, ahli geologi Caltex yang berkantor di Medan memberikan arahan agar melakukan pengeboran percobaan sumur No 1 yang berlokasi pada titik tertinggi di peta cembung tersebut.
Sayangnya, implementasi dari perencanaan pengeboran ini tidak dapat dieksekusi karena pecahnya perang dunia kedua.
Tentara Jepang dengan sigap dan cepat bergerak ke kawasan Asia Tenggara, mendarat di Malaya (kini bernama Malaysia), Filipina dan Indonesia.
Begitu sampai di Indonesia, tentara Jepang sangat sensitif terhadap industri strategis seperti pertambangan minyak di Minas ini. Tentara Jepang memerintahkan pegawai Caltex meninggalkan Minas serta lapangan Duri dan Sebanga yang sudah mulai juga di eksplorasi.
GN de Laive seorang sarjana teknik perminyakan Caltex ditangkap oleh Jepang dan ditahan di rumah tahanan Pekanbaru. Walaupun demikian, ternyata Jepang juga tertarik untuk melanjutkan pengeboran sumur Nomor 1 di Minas tersebut.
Proses pengeboran dilanjutkan di bawah pimpinan Toru Oki, ahli geologi dari perusahaan Japan Petroleum Exploration Company (Japex).
Pengeboran lanjutan yang dilakukan oleh Toru Oki ini berhasil menyemburkan minyak ke permukaan bumi. Tetapi juga ada versi lain yang mengatakan bahwa Hopper yang pertama kali berhasil mengangkat minyak dari perut bumi Minas.
Setelah perjanjian Roem Royen pada 1949, Caltex kembali lagi ke Minas dan melanjutkan pengeboran pada sumur Minas Nomor 1. Pengeboran ini selesai pada 8 Februari 1950 dengan kedalaman 2.650 kaki atau lebih kurang 800 meter.
Sumur yang menghasilkan 2.000 barrel minyak sehari yang mengalir dari perut bumi melalui pipa yang berdiameter 1 inci, mulai di ekspor pada 1952. Sejak itu Minas menjadi generator penghasil dollar.
Kemudian diikuti ladang minyak yang lainnya dalam Wilayah Kerja Blok Rokan, yaitu Duri dan Sebanga. Oleh karena itu tidak berlebihan jika ada orang yang mengatakan bahwa Blok Rokan adalah petro dollar.
Perusahaan asing yang menguasai Blok Rokan sering berganti nama dengan berbagai alasan, baik karena merger maupun akusisi.
Pertama kali pada 1924, perusahaan yang menguasai Blok Rokan ini bernama NV Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij atau NPPM.
Perusahan ini merupakan patungan yang didirikan oleh Standard Oil Company of California (Socal) dan Texas Oil Company (Texaco).
Di awal 1950, NPPM berubah nama menjadi Caltex Pacific Oil Company (CPOC). Perusahaan ini berubah nama lagi menjadi Caltex Pacific Company (CPC) pada 1960-an. Sepuluh tahun setelah itu, perusahaan ini berganti nama lagi menjadi PT Caltex Pacific Indonesia (CPI).
Pada Mei 2005 Chevron Texaco, induk dari perusahan PT Caltex Pacific Indonesia ini berganti nama menjadi Chevron Corporation.
Hal ini juga berdampak kepada anak perusahaannya di Indonesia, sehingga CPI berubah nama menjadi PT Chevron Pacific Indonesia, tetapi singkatannya tetap CPI.
Ada catatan yang menarik dari penguasaan Blok Rokan ini oleh asing. Pada 1960 pemerintah menerapkan Undang-Undang No 44/1960.
Berdasarkan undang-undang tersebut ditetapkan bahwa semua kegiatan penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia hanya dilakukan oleh Perusahaan Minyak Negara (Pertamina).
Setahun sebelum itu, yakni pada 1949-1950 pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing penghasil minyak di Indonesia. Namun, perusahaan asing yang menguasai Blok Rokan itu tidak tersentuh oleh kedua peraturan tersebut.
Legalitas penguasaan Blok Rokan oleh asing pertama kali diberikan kepada Socal pada 1936 oleh pemerintah Hindia Belanda. Konsesi yang populer dengan nama ‘Kontrak 5A’ tersebut adalah untuk kegiatan penambangan minyak di daerah Sumatera Tengah.
Kemudian pada 28 Agustus 1983, kontrak Blok Rokan diperpanjang dengan bentuk kontrak yang berbeda dengan sebelumnya.
Bentuk kontrak berubah dari kontrak karya menjadi kontrak bagi hasil (production sharing contract) sampai 8 Agustus 2001. Kemudian diperpanjang lagi selama 20 tahun, dan akan berakhir pada 2021.
Dari aspek geografis, ladang minyak yang terdapat di Blok Rokan tersebut berada pada beberapa daerah otonom di Provinsi Riau.
Diantaranya, ladang minyak Minas berada di Kabupaten Siak, ladang minyak Duri dan Sebanga berada di Kabupaten Bengkalis, serta ladang minyak Bangko, Balam dan Benggala berada di Kabupaten Rokan Hilir.
Lainnya, ladang minyak Petani dan Pematang berada di Kabupaten Rokan Hulu, dan ada beberapa sumur minyak yang berada di Kabupaten Kampar.
Reporter: HYN