
Eksplorasi.id – Kementerian ESDM pada 27 Januari 2017 telah menerbitkan dua peraturan menteri (permen) ESDM terkait ketenagalistrikan.
Kedua regulasi tersebut adalah Permen ESDM No 10/2017 tentang Pokok-Pokok Perjanjian Jual Beli Tenaga
Listrik dan Permen ESDM No 12/2017 tentang Pemanfaataan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Hasanuddin, ketua umum Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI), mengatakan, permen tersebut tidak mengacu pada UU No 21/2014 tentang Panas Bumi yang mengatur pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung (PLTP).
“Permen tersebut mengabaikan hal bersifat substansial dari pengusahaan panas bumi. Hal substansial tersebut terkait mekanisme built, own, operate and transfer (BOOT),” kata dia dalam keterangan tertulis yang dikirim ke Eksplorasi.id, Senin (7/2).
Dia menambahkan, Permen ESDM No 10 dan 12 juga bertentangan dengan prinsip izin usaha panas bumi (IUP) sebagaimana UU No 21/2014.
“Pada IUP, pengembang mempunyai hak kepemilikan aset dan memperpanjang IUP, kecuali wilayah kuasa panas
bumi (WKP) yang diserahkan secara bertahap,” jelas dia.
Penjelasan Hasanuddin, mekanisme BOOT dalam perjanjian jual beli listrik (PJBL) merupakan bentuk pemaksaan tarif listrik yang mematikan produsen swasta (independent power producer/ IPP) yang bertentangan dengan UU No 21/2014.
“Hal lainnya berkenaan dengan penetapan harga energi panas bumi harus diatur secara khusus, karena sudah ada ketentuan mengenai hal tersebut di dalam UU No 21/2014 pasal 22,” ujar dia.
Pasal tersebut berbunyi; Harga energi panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan harga keekonomian, ketentuan mengenai tata cara penetapan harga diatur dalan peraturan pemerintah.
“Penetapan harga menggunakan model harga patokan berpotensi mengabaikan prinsip keekonomian. Oleh karena itu, ADPPI mendesak kedua permen tersebut harus segera direvisi karena mengabaikan UU No 21/2014,” katanya.
Menurut Hasanuddin, saat ini diperlukan adalah peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah tentang pemanfaatan tidak langsung panas bumi yang hingga saat ini belum ada.
Reporter : Samsul