Eksplorasi.id – Perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) menggunakan pola kerjasama ‘membangun, memiliki,
mengoperasikan, dan mengalihkan’ (build, own, operate, and transfer/ BOOT) menimbulkan polemik.
Hasanuddin, ketua umum Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI), mengatakan, pola tersebut yang juga diatur di dalam pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri ESDM No 10/2017 dan pasal 11 ayat (7) Peraturan Menteri ESDM No 12/2017, sangat tentang dengan UU No 21/2014, pasal 23 dan 27.
“Badan usaha mempunyai hak membangun, memiliki dan mengoperasikan (build, own and operate/ BOO) karena mendapatkan izin panas bumi melalui mekanisme penawaran wilayah kerja, dan tidak dapat dialihkan kepada badan usaha lain,” kata dia dalam keterangan tertulis yang dikirim ke Eksplorasi.id, Jumat (10/2).
Penjelasan Hasanuddin, pola kerjasama BOOT dapat dilakukan kepada badan layanan umum atau BUMN yang bergerak di bidang panas bumi yang mendapatkan penugasan.
Adapun yurisprudensi pola kerjasama BOOT seperti halnya dalam kontrak operasi bersama (joint operation contract/ JOC) di era Keppres No 22 /1981 dan Keppres No 45/1991.
Menurut Hasanuddin, pola kerjasama BOOT dalam PJBL dan penetuan harga energi panas bumi yang tidak mengacu kepada UU No 21/2014 tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengusahaan panas bumi, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat dan menghambat investasi panas bumi.
“Ketidakpastian ini juga akan berakibat daerah kehilangan kesempatan mendapatkan hasil dari pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung (PLTP),” jelas dia.
Hasanuddin kemudian menyarankan sebaiknya pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, tidak mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif terhadap pengusahaan panas bumi.
“Sudah saatnya juga dipertimbangkan usulan wilayah kerja panas bumi yang eksisting diserahkan kepada pemda kabupaten/kota maupun provinsi, dan mempertimbangkan kepemilikan saham pemda pada setiap lapang panas bumi di Indonesia,” ujar dia.
Di satu sisi, lanjut Hasanuddin, penentuan pembelian tenaga listrik menggunakan harga patokan biaya pokok produksi (BPP) dan dilakukan kepada pengembang pembangkit pistrik (PPL) yang memiliki wilayah kerja panas bumi setelah cadangan terbukti dan atau eksplorasi, jelas bertentangan dengan UU No 21/2014.
“Sebab, penentuan harga energi panas bumi untuk PLTP ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan harga keekonomian, dan ketentuan mengenai tata cara penetapan harga diatur dalam peraturan pemerintah,” katanya.
Dia menambahkan, pengaturan harga energi panas bumi harus dibuat secara terpisah dari energi terbarukan lainnya. Alasannya, dalam mendapatkan energi listrik panas bumi sangat berbeda dengan energi terbarukan lainnya.
“Makanya dibuat UU Panas Bumi sebagai pengaturan lex specialist, baik specialist dalam proses dan tahapan, maupun dalam penentuan harga energi. Lex specialist penentuan harga diatur secara khusus dengan mempertimbangkan harga keekonomian,” ujarnya.
Reporter : Inka