Eksplorasi.id – Sejumlah keputusan Kementerian ESDM dinilai kerap merugikan BUMN di sektor energi. Mulai dari lelang Blok East Natuna serta revisi harga jual gas dari Conocophillips (Grissik) Ltd dari Blok Corridor.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, semestinya Kementerian ESDM berdiri di garda terdepan dalam membela kepentingan BUMN energi.
“Keputusan melelang segera Blok East Kalimantan jelas merugikan PT Pertamina (Persero). Blok East Kalimantan tidak ekonomis versi Pertamina karena adanya kewajiban dana pemulihan tambang (Abandonment Site Restoration/ASR),” kata dia di Jakarta, belum lama ini.
Menurut dia, kewajiban dana ASR semestinya menjadi kewajiban operator lama. Pasalnya, jika itu dibebankan kepada operator baru jelas sangat tidak ekonomis.
“Biaya ASR itu sudah termasuk dalam anggaran program kerja (Work Program and Budget/WP&B) dari rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) setiap lapangan yang dikomersilkan,” ujar dia.
Yusri menegaskan, biaya ASR merupakan kewajiban negara yang sudah menikmati hasil produksi dari lapangan tersebut untuk membiayainya dengan skema cost recovery.
“Sehingga kalau mewajibkan Pertamina mengeluarkan biaya ASR untuk Blok East Kalimantan adalah sebuah dagelan yang tidak lucu,” jelas dia.
Keterangan Yusri, semestinya Archandra bisa melihat proses pengalihan Blok B dan Blok Sumatera Utara Offshore (NSO) dari ExxonMobil Oil Indonesia Inc (EMOII).
“Pada November 2015 bisa dikatakan Pertamina memeroleh kedua blok itu secara gratis, padahal kontraknya baru akan berakhir pada Oktober 2018,” jelas dia.
Dia menjelaskan, saat itu Pertamina tidak dibebankan biaya ASR karena ExxonMobil terlanjur sudah dibayar oleh pemerintah sebesar USD 250 juta dari temuan audit BPK.
“Ketidaktahuan Achandra bisa dipahami karena keberadaannya di Indonesia baru dipertengahan 2016 ketika dilantik jadi menteri ESDM setelah sekian lama berdomisili di Amerika Serikat,” katanya.
Keputusan lain yang dinilai merugikan BUMN energi, lanjut Yusri, ketika menyetujui kenaikan harga gas hulu dari lapangan Grissik, Blok Corridor punya ConocoPhillips kepada PT PGN Tbk (Persero) melalui surat Keputusan Menteri ESDM No 5882/12/MEM.M/2017 yang diterbitkan tanggal 31 Juli 2017.
Kementerian ESDM mengizinkan kenaikan harga gas ke PGN dari USD 2,6 per MMBtu ke angka USD 3,5 per MMBtu untuk volume penjualan gas sebesar 27,27 BBTUD hingga 50 BBTUD. Keputusan itu berlaku hingga masa berakhirnya Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara PGN dan ConocoPhillips tahun 2019.
Meski harga hulu naik, namun Kementerian ESDM tidak memperkenankan PGN untuk meningkatkan harga jual gasnya kepada PT PLN (Persero) maupun pengembang listrik swasta. Harga jual gas dengan volume nol hingga 27,27 BBTUD tidak mengalami perubahan harga, yakni USD 2,6 per MMBtu.
Harga gas bagi pengguna akhir tetap berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No 3191 K/12/MEM/2011 tentang Harga Jual Gas Bumi PGN kepada PLN maupun pembangkit swasta.
“Ada kesan Kementerian ESDM saat ini lebih berpihak kepada asing. Pertamina, PGN, PLN kerap babak belur menghadapi keputusan yang kontroversial,” ucap dia.
Yusri berharap ke depan Kementerian ESDM bisa meninjau ulang sejumlah kebijakan yang merugikan BUMN energi. “Di negara manapun, BUMN selalu dibela oleh pemerintahannya, bukan malah kerap dikebiri,” katanya.
Reporter : Sam