Eksplorasi.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk segera menetapkan tersangka baru dalam kasus korupsi PLTU Riau 1, dalam hal ini baik mantan maupun jajaran direksi PT PLN (Persero) yang masih menjabat.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, berdasarkan keterangan salah seorang tersangka dalam kasus tersebut, yakni Eni Maulani Saragih, ada komisi 2,5 persen yang akan dibagi tiga orang yang diduga akan diterima direksi PLN.
“Keterangan Eni Saragih itu terungkap ketika dia menjadi saksi di bawah sumpah terhadap terdakwa Johanes Budisutrisno Kotjo dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (11/10),” kata dia di Jakarta, baru-baru ini.
Dia menambahkan, Eni Saragih secara tegas menyatakan bagian komisi 2,5 persen dari nilai total proyek PLTU Riau 1 sekitar USD 900 juta, yaitu USD 22,5 juta, akan dibagi tiga supaya adil.
“Diduga yang akan diterima direksi PLN yang terkait PLTU Riau 1 bisa jadi sekitar USD 7,5 juta. Semua keterangan Eni Saragih tersebut tidak dibantah oleh Johanes Kotjo,” ujar dia.
Komentar Yusri, dari fakta persidangan itu seharusnya bisa menambahkan keyakinan pembuktian bagi penyidik KPK untuk menetapkan status hukum bagi tiga orang petinggi atau mantan petinggi PLN.
Ketiga orang itu adalah Nicke Widyawati, mantan direktur Pengadaan Strategis 1 PLN, kini duduk sebagai direktur utama (dirut) PT Pertamina (Persero), Dirut PLN Sofyan Basir, dan mantan Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso.
“Posisi ketiga orang itu harus dipertegas apakah tetap sebagai saksi atau ditingkatkan menjadi tersangka. Harus dipahami secara hukum acara, keterangan Eni Saragih itu di bawah sumpah,” jelas dia.
Menurut Yusri, keterangan di bawah sumpah yang diucapkan Eni Saragih lebih memiliki kekuatan hukum pembuktian lebih tinggi dibandingkan keterangan dia sewaktu di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik.
“Eni Saragih pun diketahui telah mengembalikan uang sekitar Rp 2,25 miliar kepada KPK sebagai bentuk kesungguhan dia untuk memeroleh status justice collaborator (JC),” ucap dia.
Penjelasan Yusri, keterangan Eni Saragih di persidangan nilai kebenarannya menjadi tinggi bagi majelis hakim dan jaksa penuntut dari KPK.
“Apalagi Sofyan Basir sudah mengaku dan dikutip diberbagai media, ada sembilan pertemuan dengan para tersangka dan terdakwa suap ini,” katanya.
Kemudian, lanjut dia, penyidik KPK pun telah menyita banyak dokumen sebagai tambahan alat bukti dan rekaman CCTV serta sadapan pembicaraan antara pihak yang terkait.
Tambahan alat bukti itu, terang Yusri, diperoleh baik di rumah Sofyan Basir maupun di kantor PLN dan tempat pertemuan lainnya seperti di Hotel Fairmont pada 3 Juli 2017 dan BRI Prioritas Lounge beberapa waktu lalu.
“Kalau KPK tidak juga cepat menetapkan status hukum direksi dan mantan direksi PLN terkait kasus tersebut, maka publik semakin mencurigai bahwa sangat kuat intervensi pihak elite kekuasaan terhadap oknum-oknum di elite KPK untuk menutup kasus ini yang berpotensi menyentuh direksi PLN,” tegasnya.
Pengungkapan Yusri, kalau kasus itu ‘tidak dicegah’ bisa jadi akan memberikan efek domino atau membuka kotak pandora lebih besar terhadap proyek pembangkit listrik lainnya di dalam proyek 35 ribu MW yang diduga diatur seperti PLTU Riau 1.
Dia menegaskan, pihak pimpinan KPK harus berani melawan semua intervensi itu kalau mau tetap menjaga integritas lembaga KPK di depan publik tidak semakin terpuruk setelah merebaknya kasus heboh ‘buku merah daging’ baru-baru ini .
“Nama baik dan kredibilitas KPK saat ini sangat dipertaruhkan. KPK sebagai lembaga yang saat ini sangat dipercaya publik harus kuat menegakkan hukum walaupun langit runtuh, atau dia runtuh sebelum langit runtuh,” jelasnya.
Reporter : HYN