
Eksplorasi.id – Dinas Lingkungan Hidup terkait didesak oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) untuk aktif menuntut PT Pertamina (Persero) terkait insiden di Blok Offshore North West Java (ONWJ).
Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta, Tubagus Achmad mengatakan, Pertamina harus bertanggung jawab atas pencemaran minyak yang terjadi di Pantai Karawang, Jawa Barat hingga Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. “Dinas Lingkungan Hidup harus menuntut Pertamina bertanggung jawab atau sanksi. Itu keharusan!” kata dia di Jakarta, Senin (29/7).
Walhi juga meminta kepada Dinas Lingkungan Hidup untuk melakukan sosialisasi kepada publik, khususnya yang bermukim di Pulau Untung Jawa dan Kepulauan Seribu mengenai dampak lingkungan yang terjadi ketika minyak tersebut mencemari laut.
“Tujuan sosialisasi adalah agar publik, terutama penduduk lokal Kepulauan Seribu tidak menerima informasi yang simpang siur. Ini jelas sangat berdampak pada ekosistem di wilayah masyarakat, karena masyarakat pesisir sangat bergantung kepada keberlanjutan ekosistem mereka,” ujar dia.
Direktur Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong menambahkan, sebanyak empat desa di sekitar laut Karawang, Jawa Barat terkena dampak kebocoran minyak mentah akibat insiden tersebut.
Keempat desa tersebut adalah Pusaka Jaya, Pasir Jaya, Cemara Jaya, dan Sungai Buntu. “Keempat desa tersebut merupakan yang paling merasakan dampaknya. Akibatnya, Sungai Buntu yang menjadi tempat wisata dan tambak ikan dan udang, ikut tercemar,” ujar dia.
Dia menjelaskan, bocornya minyak mentah ini juga berpengaruh pada hutan mangrove yang ada di sekitar laut Karawang. “Jika hal ini tidak dengan cepat ditanggulangi secara menyeluruh, maka akan mengganggu rantai makanan makhluk hidup yang ada di sana. Selain itu, sebanyak 75 persen hingga 80 persen nelayan di sana mengalami kekurangan pendapatan pasca peristiwa tersebut,” ucapnya.
Manager Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi Nasional Dwi Sawung mengungkapkan, pihaknya memeroleh informasi dari Pertamina jika potensi berhentinya kebocoran minyak ini baru akan selesai sekitar delapan minggu ke depan.
“Namun, hal ini tidak disampaikannya kepada warga. Pertamina juga tidak menginformasikan potensi minyak mentah ini yang akan sampai ke daratan pemukiman. Dampaknya akan berapa lama juga tidak diberitahu . Bahaya dari tumpahan minyak ini juga tidak di kasih tahu,” ungkap dia.
Sementara itu, sebanyak lima unit alat giant octopus skimmer dan static oil boom sepanjang 5 x 400 meter dikerahkan untuk menyedot minyak yang tumpah di anjungan YY, Karawang Barat.
VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, static oil boom ditempatkan di sekitar anjungan YY yang terindikasi terdapat sumber utama keluarnya minyak mentah. Sehingga, minyak tersebut dapat terisolir agar tidak melebar di lautan.
Alat ini diklaim mampu mengangkat minyak dengan kecepatan 250 ribu liter per jam. Selanjutnya, oil spill dipompa ke kapal untuk penampungan sementara. Selain dengan dua alat tersebut, Pertamina juga tetap menyiagakan puluhan kapal yang membentangkan dynamic oil boom secara berlapis.
Kebocoran migas menurut Pertamina dimulai pada sumur YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) 12 Juli 2019 pukul 01.30 WIB. Kemudian, pada 16 Juli 2019, barulah muncul lapisan minyak (oil sheen) dipermukaan laut sekitar, yakni di samping gelembung gas.
Tumpahan minyak (oil spill) Baru terlihat disekitar anjungan sehari berikutnya dan mencapai ke pantai arah barat pada tanggal 18 Juli 2019 yakni mengenai pantai di Kerawang, Jawa Barat kemudian sampai Kepulauan Seribu.
Reporter: Sam.