Eksplorasi.id – Rencana pemerintah menurunkan harga gas industri hingga di level USD 6 per MMBTU dikritik sejumlah pihak, salah satunya oleh ekonom senior Faisal Basri.
Menurut Faisal, rencana penurunan harga gas industri tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Alasan lain, penurunan harga gas industri tidak akan menjamin industri penerima harga gas akan tumbuh lebih kuat.
“Apa dasarnya menurunkan harga gas itu? Hitung-hitungannya darimana, sehingga harga gas industri harus USD 6? Harga gas Indonesia bervariasi, tergantung sumber dan lokasinya,” kata dia di Jakarta, belum lama ini.
Faisal menjelaskan, perlu adanya agregator. Tujuannya, harga gas yang berbeda itu kemudian dijadikan satu, sehingga keluar menjadi harga yang bisa dijangkau oleh konsumen.
“Jadi tidak ada harga gas yang ideal. Sumbernya berbeda-beda, maka dibutuhkan agregator gas. Saya pun tidak yakin jika penurunan harga gas industri akan berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Itu tidak ada urusannya. Presiden mendapatkan informasi yang salah soal harga gas ini,” tegas dia.
Di satu sisi, Deputi III Menko Perekonomian Monty Girianna belum dapat menyampaikan besaran dampak ekonomi akibat penurunan harga gas industri. “Belum ada angkanya. Masih dalam perhitungan,” jelas dia.
Sementara, Kholid Syeirazi dari Center For Energy Policy berpendapat menilai tidak fair negara menyubsidi cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak.
Dia menjelaskan, berdasarkan Perpres No 40/2016 terdapat tujuh industri yang berhak atas ‘subsidi’ harga gas, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleochemical, industri baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
“Penetapan harga atas tiga kategori industri yang menjadikan gas sebagai bahan baku (feed stock) yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical bisa dimengerti. Namun, untuk empat industri selebihnya, gas bumi bukan merupakan bahan baku, tetapi burner yang bisa disubstitusi dengan BBM,” ujar dia.
Reporter: Sam.