Eksplorasi.id – Program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt memerlukan kesungguhan seluruh pemangku kepentingan, terutama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), agar program tersebut bisa selesai pada 2019, kata seorang pengamat energi.
“Dari aspek teknis dan bisnis, target tersebut relatif sulit untuk direalisasikan dalam kurun waktu yang ditetapkan. Untuk itulah sebagai pelaksana program 35.000 megawatt, PLN menjadi faktor kunci yang akan menentukan keberhasilan dari pelaksanaan program tersebut,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta, Kamis.
Terkait dengan kesungguhan PLN, ReforMiner antara lain menyoroti pembatalan lelang proyek PLTU Jawa 5 yang rencananya dibangun di Serang dengan kapasitas sebesar 2.000 megawatt oleh PLN. Proyek tersebut merupakan bagian dari program 35.000 megawatt.
Menurut Komaidi, pembatalan tersebut akan menjadi preseden yang kurang baik bagi keberlanjutan pelaksanaan program raksasa itu.
Selain itu, PLN diduga melakukan perubahan konsep lelang dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa 1 yang juga merupakan bagian dari megaproyek 35.000 megawatt. Jika dalam konsep semula, PLN melelang secara integrasi antara eletricity solution dan gas solution, sekarang PLN memisahkan penyediaan gasnya.
“Pembatalan proses lelang yang sedang berjalan atau bahkan telah diputuskan akan memunculkan keraguan para investor, baik yang akan masuk maupun yang telah terlibat dalam program tersebut,” kata Komaidi.
Molornya waktu penyusunan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016 sampai dengan 2025 oleh PLN, juga berdampak terhadap pelaksanaan program 35.000 megawatt. Hal itu, kata Komaidi, karena RUPTL merupakan basis dari pengembangan kelistrikan nasional, termasuk program 35.000 megawatt.
“Permasalahan penyusunan RUPTL tersebut juga mencerminkan adanya permasalahan antara pemerintah dan PLN selaku pelaksana program,” kata Komaidi.
ReforMiner menilai sejak awal program 35.000 megawatt memang tidak dapat diselesaikan dengan cara yang biasa-biasa. Itu sebabnya, selain harus bersungguh-sungguh, PLN juga tidak dapat bertindak hanya dalam perspektif korporasi. Namun, lanjut dia, perlu bertindak sebagai kepanjangan tangan pemerintah (negara).
Sampai saat ini, pelaksanaan program 35.000 megawatt memang masih jauh dari harapan. Komaidi menggambarkan, untuk status proyek 35.000 megawatt yang sudah COD/SLO, baru sebesar 3 megawatt. Artinya, baru sekitar 0,01 persen dari keseluruhan program.
“Sekitar 41 persen program saat ini dalam posisi financial close dan konstruksi, 22 persen dalam pengadaan, dan 37 persen dalam perencanaan,” katanya.
Dari keseluruhan program 35.000 megawatt, menurut dia, saat ini baru sebesar 14.436 megawatt proyek yang terkontrak yang terdistribusi atas 2.815 megawatt dikerjakan PLN dan 11.621 megawatt dikerjakan IPP. Sementara itu, sebesar 21.105 megawatt dari program tersebut, sampai saat ini belum terkontrak.
Masalah lain yang juga harus mendapat perhatian serius adalah terkait dengan pengadaan lahan. Berdasarkan data yang ada, sampai dengan 2016 terdapat 113 proyek 35.000 megawatt di Sumatera, Kalimantan, Jawa-Bali, Papua, Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara yang pengadaan lahannya masih bermasalah.
Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyaatan (Ibeka) Tri Mumpuni menilai perubahan dalam pelaksanaan lelang proyek listrik akan berdampak sangat buruk terhadap kondisi kelistrikan tanah air. Upaya pemerintah agar seluruh masyarakat bisa menikmati listrik bisa terancam.
“Dalam bisnis, PLN harus untung, begitu pula dengan investor. Akan tetapi, perubahan konsep lelang, jelas sangat merugikan investor,” kata Tri.
Eksplorasi | Aditya | antara