Eksplorasi.id – Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia (ADPPI) mendukung upaya Serikat Pekerja Nasional Chevron Indonesia (SP-NCI) untuk menuntut hak dalam proses Chevron mundur sebagai operator di PLTP Salak dan PLTP Darajat.
Ketua Umum ADPPI Hasanuddin mengatakan, berdasarkan UU No 21/2014 tentang Panas Bumi, penyelenggaraan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung menjadi kewenangan pemerintah.
Menurut dia, karena adanya regulasi tersebut, maka segala hal yang berkenaan dengan pemanfaatan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung (PLTP) saat ini menjadi tanggung jawab Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, baik secara regulasi, manajemen pemanfaataan sumber daya alam panas bumi, maupun pengawasan.
“Salah satu persoalan mendesak yang harus disikapi oleh Ditjen EBTKE saat ini adalah mundurnya Chevron dari lapang panas bumi Darajat dan Salak, yang saat ini mulai memunculkan kegaduhan dan masalah serius,” kata dia di dalam keterangan pers tertulis yang dikirim ke Eksplorasi.id, Rabu (2/11).
Hasanuddin menambahkan, kondisi tersebut dapat berpotensi menjadi persoalan hukum, dan menimbulkan citra negatif dalam pengusahaan panas bumi di masa yang akan datang.
Dia menjelaskan, perlu diluruskan terkait mundurnya Chevron dari dua lapang panas bumi, yakni PLTP Darajat (270 MW) dan PLTP Salak (377 MW). Alasannya, ADPPI memandang pemerintah seharusnya tidak melihat hal ini dalam perspektif divestasi, melainkan mundur sebagai operator.
“Hal itu tentu berbeda prosedur dan tata caranya. Dalam perspektif divestasi pemerintah (negara) dapat dirugikan. Pemerintah harus dapat menjelaskan, sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa PLTP Darajat dan PLTP Salak adalah aset pemerintah dalam hal ini Pertamina, melalui perjanjian kerja sama Joint Operation Contract (1984) atau Kerja sama Operasi Bersama (KOB), di mana Pertamina sebagai pemilik WKP, dan Chevron sebagai operator semata,” jelas dia.
Hasanuddin menegaskan, keputusan Chevron mundur dari PLTP Darajat dan PLTP Salak itu sama artinya mundur sebagai operator. Terkait mengenai aset dua pembangkit tersebut, imbuh dia, tentulah harus dibicarakan secara konprehensif business to business (B to B), antara Chevron dan Pertamina.
“Bukan sebaliknya Chevron dibuka akses untuk melepaskan sahamnnya melalui prosedur divestasi, dengan diberikan izin perusahaan tersebut membuka data untuk proses pelepasan aset,” tegas dia.
Dia mengungkapkan, saat ini Chevron sudah melakukan proses tahapan penawaran bagi peminat. Kondisi itu membuat terjadinya ketidakpastian pengelolaan SDM di dua lapang panas bumi tersebut.
“SP-NCI hingga kini menuntut kepastian penyelesaian pembayaran pesangon yang sudah lebih dari enam bulan belum mendapatkan kepastian. Bahkan sebagai bagian dari rencana penjualan, Chevron juga akan memindahkan pekerja dari unit bisnis lain non geotermal,” katanya.
Hal ini, lanjut Hasanuddin, tidak saja sebagai bentuk lempar tanggung jawab pembayaran, tetapi akan menimbulkan persoalan manajemen operator dua lapang panas bumi tersebut di masa yang akan datang.
“Dari dua hal ini, kami memandang sudah saatnya pemerintah pusat (Ditjen EBTKE) menjalankan kewajibannya secara profesional dan bertanggung jawab sebagaimana amanat UU No 21/2014 sebagai pemegang kewenangan penyelenggaraan panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung,” ujarnya.
Hasanuddin menegaskan, ADPPI menuntut Ditjen EBTKE untuk segera melakukan tindakan konprehensif, seperti menghentikan sementara proses yang dilakukan Chevron dalam penjualan aset negara (PLTP Darajat dan PLTP Salak), sampai dengan adanya ketentuan prosedur dan tata cara mundurnya operator dari lapanga panas bumi, yang hingga kini ketentuannya belum ada.
Kemudian, meminta Chevron menjalankan kewajibannya dalam hal penyelesaian masalah ketenaga kerjaan dalam waktu yang cepat. Jika tidak, tegasnya, pemerintah bisa mencap Chevron telah melalaikan kewajibannya, yang akan berdampak pada dicabut haknya sebagai operator di dua lapang panas bumi tersebut.
Reporter : Ponco S
Comments 1