Eksplorasi.id – BPK dan KPK diminta menyelidiki secara tuntas dugaan mark up tender kapal yang dilakukan anak usaha PT Pertamina (Persero), PT Pertamina Trans Kontinental (PTK).
Selain menyelidiki adanya dugaan mark up pada tender tersebut, BPK dan KPK juga mesti menyigi adanya potensi kerugian gagal suplai minyak dari Libya yang dipasok oleh Glencore, serta dugaan adanya penyalahgunaan dana di bagian corporate comunication Pertamina yang boros digunakan sebagai pencitraan yang berlebihan.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman di Jakarta, Senin (26/9). “Dugaan kasus PT PTK dan Glencore serta dana corporate comunication jangan dianggap sepele. Ini kasus yang sangat serius,” kata Yusri.
Dia berkomentar, tender small marine vessels di PT Donggi Senoro LNG yang digelar oleh PT PTK dengan pemenang tender PT Tri Ratna Diesel Indonesia dengan nilai tender USD 5 juta saat itu diduga sarat dengan hengki pengki.
“Fakta di lapangan setelah Tri Ratna memenangkan tender, mereka ternyata terlambat dalam membangun kapal, melampaui delivery time. Kemudian, konon berdasarkan hasil pengecekan fisik oleh auditor BPK sebelum dilakukan penyerahan small marine vessels dari Tri Ratna, diduga diperoleh fakta bahwa banyak material dan mesin yang diduga off spec tidak sesuai spesifikasi dalam ship building contract (SBC),” ungkap Yusri.
Kasus lain yang juga mesti menjadi fokus BPK dan KPK, lanjut Yusri, adalah dua tangker MT Tatiti dan MT Stavenger Blossom yang membawa minyak mentah bodong 1,2 juta barel yang disuplai Glencore dengan tujuan Kilang Dumai dan Kilang Balikpapan yang akhirnya ditolak.
“KPK harus serius memantau pergerakan dua kapal tangker yang membawa minyak bodong tersebut keluar dari perairan Indonesia, agar terhindar minyak mentah tersebut masuk kembali ke Kilang Pertamina. Kalau itu terjadi, maka bisa babak belur Pertamina menanggung kerugiannya sekitar USD 120 juta,” tegas dia.
Yusri menjelaskan, terkait pengadaan minyak mentah yang telah menghebohkan itu, sesungguhnya dalam best practice ‘Crude Oil Management System’ ( COMS) tidak dikenal membeli minyak mentah (crude) dengan cara ‘mengoplos’.
“Karena (oplos) akan terjadi beberapa kelemahan, antara lain soal akurasi kuantitas maupun kualitas. Percampuran (blending) seharusnya dilakukan di Kilang Pertamina,” jelas dia.
Dia menambahkan, berdasarkan best practice, kejadian pengadaan minyak mentah dari Libya yang dicampur terbalik komposisinya antara minyak Sarir dengan minyak Mesla sangat tidak lazim.
Sebab, pada saat pengiriman ada notifikasi bill of lading, pastinya pihak Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina sudah harus lebih tahu sejak awal.
“Ini semestinya bisa dibatalkan sebelum kapal bergerak di terminal muat di Libya atau di salah satu negara Timur Tengah menuju Indonesia. Sangat disayangkan hal ini terjadi setelah kapal jalan. Apakah COMS sudah jalankan dengan benar dan ISC lebih transparan di banding Petral?” ujar Yusri.
Di satu sisi, imbuh Yusri, soal ISC menutup rapat harga kontraknya adalah suatu hal membuktikan ISC tidak transparan terhadap publik. Yusri menerangkan, yang tidak boleh dibuka adalah saat sebelum tender dilakukan.
“Namun, ketika sudah diputuskan pemenangnya dan sudah ada kontrak, maka harga pembelian minyak mentah harusnya boleh dibuka ke publik. Keengganan ISC membuka harga beli itu bisa dianggap melanggar UU No 14/2008 soal keterbukaan informasi kepada publik,” ujarnya.
Di sisi lain, Yusri bercerita, sejarah mencatat bahwa Pertamina pernah kolaps di masa pimpinan Ibnu Sutowo pada era 1970-1974 karena kasus korupsi yang luar biasa. “Jangan sampai hal ini kembali terulang,” katanya.
Sekedar informasi, pada 30 Januari 1970, harian Indonesia Raya memberitakan simpanan Ibnu Sutowo mencapai Rp 90,48 miliar (kurs rupiah saat itu Rp 400 per dolar), jumlah yang sangat fantastis. Harian yang akhirnya dibredel itu juga melaporkan kerugian negara akibat kerja sama Ibnu Sutowo dengan pihak Jepang saat itu mencapai USD 1.554.590,28.
Mochtar Lubis dalam buku Mochtar Lubis Bicara Lurus; Menjawab Pertanyaan Wartawan pernah menyebut bahwa Jaksa Agung saat itu juga tak berkutik kepada Ibnu Sutowo. Dalam buku tersebut, Mochtar menyebut Jaksa Agung saat itu Ali Said tidak berbuat apa-apa soal dugaan korupsi yang dilakukan Ibnu Sutowo.
“Waktu kami ramai-ramai membongkar, pemerintah diam saja. Padahal waktu itu kami sudah serahkan (kepada pemerintah) lembaran-lembaran bukti tertulis mengenai kasus korupsi Pertamina. Kami kirim ke Jaksa Agung, kami kirim ke panitia tujuh yang dipimpin oleh Almarhum Wilopo,” ujar Mochtar Lubis dalam buku tersebut.
Kemudian, karier Ibnu Sutowo sebagai direktur utama Pertamina tamat setelah Presiden Soeharto mencopotnya. Langkah ini diambil karena Pertamina berutang hingga USD 10,5 miliar pada 1975.
Reporter : Ponco Sulaksono