Eksplorasi.id – Sejumlah pihak mendukung langkah yang dilakukan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional (Indonesian National Shipowners Association/INSA) terkait penundaan penggunaan biodiesel (B20).
Salah satu dukungan diberikan oleh Center of Energy and Resources Indonesia (CERI). Menurut Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman, program B20 tanpa kajian teknis yang matang dan terlalu dipaksakan.
“Apakah ini dapat dikatakan kebijakan blunder? Pemerintah oleh Kementerian ESDM dalam menerapkan kebijakan ini terkesan panik akibat defisit transaksi berjalan dalam neraca keuangan negara,” kata dia di Jakarta, Senin (29/10).
Menurut Yusri, sektor migas telah menyumbang angka paling tinggi akibat beban impor minyak mentah dan BBM yang setiap hari sudah mencapai sekitar 850 ribu barel perhari.
Faktanya, lanjut dia, pemaksaan penggunaan konsep B20 justru akan melemahkan daya saing, termasuk biaya industri dan biaya logistik. “Langkah tergesa-gesa pemerintah menggunakan B20 berimplikasi luas bagi konsumen kendaraan besar berkapasitas diatas 2.500 cc seperti bus, alat-alat berat dan kapal,” ujar dia.
Di satu sisi, imbuh Yusri, PT Pertamina (Persero) berpotensi akan menanggung beban banyak digugat oleh konsumen biosolar, karena ternyata B20 berkualitas buruk dan berakibat rusaknya mesin kenderaan.
“Selain juga terhadap ekses kelebihan produk solar reguler dari kilang sebanyak 20 persen yang terpaksa dijual Pertamina di bawah harga pasar,” ucapnya.
Kemudian, akibat kualitas B20 membuat pemilik kendaraan kehilangan tenaga, biaya perawatan semakin tinggi, serta potensi kerusakan mesin akibat menggunakan standar BBM yang tidak sesuai disyarakatkan oleh pabrik. “Bisa jadi dealer tidak bertanggungjawab atas garansi yang telah diberikan oleh pabrik sejak kendaraan dijual,” tegas dia.
Dia menambahkan, dengan konsep B10 saja, pihaknya banyak menemukan masalah terhadap sistem injeksi karburatornya. “Bisa jadi karena kualitas FAME (Fatty Acid Methyl Esthers)-nya. Padahal di Eropa, kandungan FAME yang berkualitas tinggi saja hanya maksimal tujuh persen,” ucapnya.
Penjelasan Yusri, FAME sejak awal diluncurkan memang bermasalah disisi torsi dan depositnya. Kendala utama FAME adalah mudah larut dalam air, jika komposisi FAME tinggi untuk di daerah dingin, maka potensi akan beku dan tentu mengganggu kinerja mesin.
Sifat lain adalah semakin besar kandungan FAME, maka power kendaraan akan turun, khususnya kendaraan berat akan potensi bermasalah.
“Sisi lain kalau di tempat kita dengan FAME yang mudah larut dalam air, maka FAME yang di impor konsentrasinya bisa jadi turun karena di campur dengan air,” kata Yusri.
Komentar dia, Indonesia sangat lemah terhadap pengawasan kualitas impor FAME. Maka saat di campur dengan solar fosil akan timbul banyak masalah khususnya di kendaraan berat.
“Terkait perihal low dan high quality FAME hubungannya dengan precipitate, bisa disampaikan spesifikasi SNI versus spesifikasi ekspor, di mana spesifikasi ekspor lebih ketat dari SNI,” jelasnya.
Yusri menerangkan, parameter utama dari FAME yang berpengaruh terhadap terjadinya presipitasi adalan kandungan monoglyceride (MG). Seperti diketahui kandungan MG pada FAME sesuai SNI adalah maks 0,8 persen mass, sementara spesifikasi FAME untuk ekspor adalah maksimal 0,4 persen mass.
Reporter: Sam