Eksplorasi.id – Cost recovery (CR) merupakan isu panas dan selalu menjadi topik perdebatan di antara pemangku kepentingan industri migas, mulai dari perusahaan migas, pemerintah hingga DPR, sejak cost recovery dimasukkan ke dalam anggaran belanja negara.

Apa itu cost recovery? CR adalah istilah yang digunakan untuk pengembalian atas belanja modal dan biaya operasi yang telah di keluarkan perusahaan minyak dan gas pada saat produksi pertama di bawah perjanjian kontrak bagi hasil (PSC).
Skema CR memungkinkan bagi perusahaan migas yang telah menanamkan modal untuk ‘setidaknya’ mendapatkan investasi mereka kembali, jika ditemukan cadangan migas yang cukup.
Hal penting untuk dicatat, bahwa perusahaan migas hanya akan mendapatkan pengembalian biaya pengeluaran tersebut, jika mereka berhasil menemukan cadangan migas komersial yang bisa di produksi.
Eksplorasi migas adalah bisnis yang sangat berisiko dan sifatnya jangka panjang. Berdasarkan situs Indonesia-Investments, sejak 2002-2016 hampir USD 4 miliar dihabiskan sia-sia oleh perusahaan migas dalam tahap eksplorasi di Indonesia tanpa menemukan cadangan migas yang cukup untuk di produksi secara komersial.
Apa artinya ini? Ini berarti bahwa pemerintah tidak akan pernah mengganti biaya tersebut. Perusahaan migas menanggung semua risiko tersebut.
Mari kita lihat beberapa kegiatan eksplorasi yang telah berhasil menemukan cadangan migas yang cukup, serta berapa lama waktu yang di perlukan untuk dapat dikembangkan dan diproduksi secara komersial.
Contoh pertama adalah lapangan West Seno di Kalimantan Timur yang dioperasikan oleh Unocal. Lapangan ini ditemukan pada 1998 dan menghasilkan minyak pertama pada 5 Agustus 2003.
Dengan menggunakan konsep ‘nilai masa sekarang (net present value/ NPV), mari kita menghitung nilai uang yang dihabiskan selama fase eksplorasi dengan menggunakan tingkat diskonto 10 persen (discount rate of 10%).
Untuk mempermudah, asumsikan USD 1 juta di keluarkan pada 1998, yaitu tahun penemuan. Jika kita dapat memperoleh kembali USD 1 juta pada 2003, yaitu tahun produksi, nilai uang tersebut akan hanya senilai USD 621 ribu.
Contoh kedua adalah lapangan gas lepas pantai Abadi di Blok Masela yang ditemukan oleh Inpex pada 2000, dan sampai sekarang Inpex sebagai operator belum memulai proyek pengembangan untuk memproduksi lapangan gas ini.
Mari kita asumsikan gas pertama akan mengalir pada 2021, yang berarti 21 tahun penghancuran nilai waktu dari uang USD 1 juta pada 2000 akan bernilai hanya sebesar USD 135 ribu pada 2021.
Apa yang menjadi penyebab kehancuran nilai waktu dari uang tersebut? Merupakan subjek diskusi yang berbeda, tapi saya cukup yakin salah satunya merupakan isu cost recovery antara pemerintah dan perusahaan migas.
Setiap tahun, perusahaan migas mengusulkan dan menyajikan program kerja eksplorasi dan anggaran kepada pemerintah (diwakili oleh SKK Migas) dan berusaha untuk membuktikan apakah kegiatan yang di lakukan masuk akal, bukan hanya secara teknis tetapi juga dalam hal pembiayaan.
Diskusi sering berlarut larut dan tidak mencapai kata sepakat, di mana masing masing pihak tetap pada pendirian masing masing. Hal ini tidak hanya membuang-buang banyak waktu tetapi juga menyebabkan hilangnya esensi kegiatan eksplorasi itu sendiri karena masalah cost recovery, yang sangat mungkin tidak pernah akan terjadi karena cadangan minyak yang cukup untuk di produksi secara komersil tidak pernah ditemukan.
Perusahaan migas sering bingung dan kaget mengapa mereka perlu menghabiskan sedemikian banyak waktu membuktikan, terutama masalah biaya dari rencana kegiatan eksplorasi mereka kepada pemerintah.
Di sisi lain, SKK Migas berargumentasi bahwa mereka merupakan instansi yang bertanggung jawab memastikan bahwa segala sesuatu sudah berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Jadi pertanyaannya sekarang apakah kita semua harus melupakan cost recovery? Mengapa kita repot-repot? Jika saya ada di posisi pembuat keputusan di perusahaan migas, menjamin bahwa pengeluaran selama masa eksplorasi bakal di kembalikan dalam skema cost recovery yang berlaku, adalah merupakan suatu keputusan bisnis.
Proyek eksplorasi seperti yang dijelaskan di atas adalah benar-benar merupakan bisnis yang berisiko. Pengalaman saya selama lebih dari 20 tahun di industri migas menunjukkan bahwa sebagian besar proyek eksplorasi memiliki ‘kemungkinan sukses’ (possibility of success/ POS) kurang dari 20 persen, yang berarti bahwa 80 persen dari proyek-proyek ini akan gagal.
Jika kegiatan eksplorasi itu berhasil, dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan pengembaliaan biaya tersebut, di mana nilai uang tersebut telah terkikis secara signifikan.
Karena itu, sebagai pembuat keputusan, kita perlu menilai apakah ongkos dari suatu pengeluaran yang bisa di cost recovery lebih besar dari nilai waktu sekarang (NPV) dari pengeluaran itu sendiri? Jika iya, kita harus melupakan tentang cost recovery, suatu keputusan bisnis yang sederhana
Namun, meskipun pengembalian biaya atas dasar risiko waktu, memiliki nilai waktu sekarang yang rendah pada diskonto 10 persen (NPV10), hal ini dapat berharga untuk keekonomi proyek secara keseluruhan, terutama untuk proyek-proyek kecil atau marjinal atau ketika menghitung proyek secara point forward dari pada secara full cycle.
Suatu hal yang kebanyakan orang, menurut saya, tidak mengerti adalah bahwa dalam skema PSC, kontraktor (perusahaan migas) secara efektif ‘meminjamkan’ uang tunai dengan bebas bunga kepada mitranya—pemerintah Indonesia—dan ‘pinjaman bebas bunga tersebut’ hanya dapat dibayar dari arus kas produksi.
Sebagian besar cost recovery sebenarnya pengembalian dari pengeluaran bagian pemerintah Indonesia. Perusahaan tidak boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan eksplorasi tanpa manfaat pengembalian biaya pengeluaran dalam rezim PSC meskipun nilai masa sekarang (NPV) dari pengembalian tersebut rendah
Apa yang akan saya lakukan jika saya berada di posisi pemerintah? Pertama-tama, mari kita melihat beberapa fakta yang ada. Indonesia telah menjadi net importir minyak sejak 2004 dan akan menjadi net importir gas pada 2019.
Sementara itu, permintaan energi negara kita terus meningkat. Menurut Dewan Energi Nasional (DEN), 47 persen dari kebutuhan energi Indonesia akan bergantung pada minyak dan gas pada 2025, dan 44 persenpada 2050.
Guna memenuhi permintaan energi yang terus meningkat, di butuhkan lebih banyak lagi cadangan cadangan minyak dan gas baru. Ini berarti lebih banyak kegiatan eksplorasi dibutuhkan segera untuk menemukan cadangan cadangan baru tersebut.
Sebagai konsekuensinya untuk melakukan lebih banyak kegiatan eksplorasi, lebih banyak investasi baru yang diperlukan, yang secara jujur pemerintah Indonesia akan menghadapi kesulitan untuk memenuhinya.
Salah satu cara untuk mengukur seberapa besar kegiatan eksplorasi sedang dilakukan di negara ini, adalah dengan menghitung jumlah kumulatif kolam cost recovery dalam tahap eksplorasi.
Semakin besar kumulatif kolam cost recovery, semakin besar kegiatan eksplorasi yang terjadi. Selain itu, kegiatan eksplorasi juga akan menguntungkan perekonomian negara dari efek pengali mereka.
Pemerintah Indonesia, akhirnya, membuat semua keuntungan mereka dalam PSC dari produksi yang merupakan hasil langsung dari eksplorasi.
Kesimpulannya, jika saya berada di posisi sebagai pemerintah, saya akan membuat sistem yang lebih efisien yang mendorong kegiatan eksplorasi di Indonesia.
Oleh : Yusak Setiawan*
*Penulis adalah seorang konsultan independen di bidang minyak dan gas bumi, berpengalaman lebih dari 20 tahun di eksplorasi dan pengembangan minyak dan gas terutama di laut dalam. Penulis pernah menjabat sebagai Country Manager dan Exploration Manager di Murphy Indonesia pada 2010 hingga 2015.