Eksplorasi.id – Kementerian ESDM semestinya mendorong PT Pertamina (Persero) mengembangkan Hydrotreated Palm Oil (HPO) atau Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) dibandingkan menerapkan program biodiesel 20 persen (B20).
Hal itu ditegaskan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman di Jakarta, Selasa (30/10). “HPO atau HVO dikenal juga dengan green diesel.”
Menurut Yusri, meskipun kemungkinan dari sisi harga HPD/HVO sedikit lebih mahal dari FAME (Fatty Acid Methyl Esters), namun HPO/HVO jauh lebih baik untuk torsi kenderaan dan tidak mengadung Monoglyceride yang menyebakan presipitasi.
“Perlu diketahui, nilai cetane number HPO/HVO berkisar 65 hingga 67, sementara FAME hanya 50 hingga 65. HPO/HVO pun hanya perlu penambahan sedikit aditif untuk meningkatkan lubrisitas,” kata dia.
Yusri mengungkapkan, pihaknya pun mendengar bahwa Pertamina saat ini sedang melakukan uji coba soal HPO/HVO dan hasilnya sangat memuaskan.
“Pertanyaannya, kenapa KESDM tidak segera mendorong produk ini diproduksi secara massal? Atau di balik itu adakah kepentingan melindungi pengusaha FAME,” tanya dia.
Di satu sisi, beberapa waktu lalu, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia atau Aptrindo menyatakan menolak implementasi biodiesel campuran solar dengan minyak kelapa sawit.
Wakil Ketua Aptrindo Kyatmaja Lookman menjelaskan, dampak buruk B20 yang selama ini terjadi bagi kendaraan, khususnya truk, adalah adanya endapan yang selalu dihasilkan B20 di mesin.
Selain itu juga cenderung menciptakan lapisan jelly di mesin, lantaran tingginya kandungan lemak pada produk tersebut.
“Truk itu waktu Jepang uji studi lama (menggunakan B20), juga yang di India ini uji coba, akhirnya performa (truk) naik turun, konsumsi bahan bakarnya juga naik turun. Karena injektornya jellying dan endapan di pipa pipanya,” ujar dia.
Di sisi lain, ekonom Bank Permata Josua Pardede pernah berkomentar, impor migas diharapkan berlanjut seiring bergulirnya kebijakan pencampuran 20 persen kelapa sawit terhadap solar (B20).
Namun, imbuh dia, program B20 tidak serta merta memperbaiki neraca migas, karena Indonesia masih menjadi negara net importer minyak.
Kemampuan produksi dalam negeri sekitar 800 ribu barel per hari (bph) tapi kebutuhannya mencapai sekitar 1,5 juta bph.
Menurut dia, kebijakan program B20 yang dikombinasikan dengan kenaikan PPh Pasal 22 menjadi 10 persen terhadap 500 barang konsumsi akan berdampak bagus terhadap neraca perdagangan dalam jangka menengah dan panjang.
Selain itu, Pertamina perlu didorong untuk menemukan cadangan baru, serta meningkatkan produksi dari lapangan baru dan sumur migas tua yang telah dikuasainya.
Josua juga berharap harga BBM di dalam negeri dijual mendekati harga keekonomian. Sebab, Pertamina juga harus membukukan keuntungan agar punya modal untuk menemukan dan mengekplorasi lapangan migas baru dan meningkatkan produksi, sehingga impor minyak dan BBM bisa ditekan.
Reporter: Sam