Eksplorasi.id – Sejumlah pemerhati lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat tergabung dalam Konsolidasi Masyarakat Sipil menolak eksploitasi lingkungan dan tambang di Seko Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan.
“Eksploitasi lingkungan dan lahan pertambangan di Seko telah mengancam wilayah masyarakat lokal maupun masyarakat adat di sana,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi0 Sulsel Asmar Exwar dalam siaran pers, di Makassar, Minggu.
Menurutnya Pemprov Sulsel seharusnya memprioritaskan perlindungan kawasan-kawasan hutan yang masih tersisa termasuk wilayah adat dan masyarakat adat yang ada di dalamnya.
Selain itu, izin-izin baru industri ekstraktif seperti pertambangan seharusnya sudah tidak diberikan lagi.
“Pemprov harusnya fokus memeriksa izin-izin pertambangan yang ada saat ini. Demikian pula halnya dengan pembangunan infrastruktur yang menunjang industri pertambangan seperti PLTA,” katanya lagi.
Pihaknya melihat adanya keterkaitan erat antara investasi energi dan pertambangan sebagai suatu kesatuan yang sangat berpotensi mengancam kawasan hutan maupun wilayah masyarakat adat.
Berdasarkan data saat ini terdapat 10 perusahaan tambang yang mendapat izin eksplorasi dari Bupati Luwu Utara sejak 2011.
Enam di antaranya berlokasi di Kecamatan Seko seluas 121.390,22 hektare (Peta HGU hasil digitasi Peta WIUP) atau berdasarkan data Peta WIUP mencapai 90,937 hektare.
Tidak hanya tambang, di wilayah Seko saat ini juga terdapat izin HGU Perkebunan (PT Seko Fajar) dan rencana pembangunan PLTA yang akan dibangun oleh PT Seko Power Prima dan PT Seko Power Prada. Pengusahaan wilayah tersebut dan rencana pembangunan PLTA diyakini akan menghilangkan hak atas wilayah kelola Masyarakat Adat Seko, padahal diketahui telah mendapat pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Luwu Utara melalui SK bupati setempat.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Tanah Luwu Batara Manurung mengungkapkan masyarakat Seko secara umum tidak pernah mendapatkan informasi yang detail dan transparan atas dampak yang ditimbulkan jika perusahaan tambang tersebut beroperasi.
Sebelum memperoleh izin eksplorasi, masyarakat sampai saat ini belum pernah mendapatkan pemberitahuan atau dimintai persetujuannya terkait izin eksplorasi tersebut.
Warga baru mengetahuinya, kata dia, setelah pihak perusahaan memasang papan pengumuman penyusunan Amdal.
“Proses konsultasi dan sosialisasi yang dilakukan pemerintah dan perusahaan tidak pernah dilakukan di wilayah dampak lokasi pembangunan PLTA, sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang jelas atas apa yang akan dibangun oleh perusahaan,” ujar dia.
Menurutnya, Pemkab Luwu Utara seharusnya lebih menghargai keberadaan masyarakat adat Seko atas hak-hak tanahnya.
Apalagi, katanya lagi, di Luwu Utara ada Perda tentang Keberadaan Masyarakat Adat Seko No. 300 Tahun 2004, dan SK Bupati Nomor 12 Tahun 2004.
“Dua peraturan itu jelas menenegaskan segala bentuk pembangunan yang masuk ke Seko harus sepengetahuan dan izin dari masyarakat adat Seko,” kata dia pula.
Pihaknya mempertanyakan untuk siapa sebenarnya pembangunan PLTA dengan kapasitas 450 megawatt itu, karena dianggap jauh dari kebutuhan masyarakat setempat.
Perihal adanya klaim dari pemerintah bahwa 85 persen masyarakat Seko telah menerima pembangunan PLTA ini, kata dia lagi, informasi itu keliru dan bertentangan dengan fakta yang sebenarnya.
Aliansi masyarakat sipil itu terdiri dari sejumlah NGO di Makassar dan Luwu, seperti Perkumpulan Wallacea, Walhi Sulsel, LBH Makassar, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, AMAN Sulawesi Selatan, Kontras Sulawesi, Jurnal Celebes, YBS Palopo, dan PBHI Sulsel.
Eksplorasi | Aditya | antara