Eksplorasi.id – Menteri BUMN Erick Thohir meminta mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk menjadi petinggi di salah satu perusahaan BUMN.
Kemunculan kembali pria yang biasa disapa Ahok itu menimbulkan polemik. Namun, apakah langkah Menteri Erick menggandeng Ahok itu telah mendapat restu dari Presiden Joko Widodo?
Jawabannya bisa iya. Hal itu tercermin dari komentar Staf Khusus Menteri BUMN Bidang Komunikasi Publik Arya Sinulingga, baru-baru ini.
Komentar Arya, untuk jabatan di BUMN yang bersifat strategis memang diperlukan koordinasi dengan kepala negara. “Pastinya setiap posisi yang vital untuk BUMN kami harus koordinasi dengan Pak Jokowi.”
Direktur Eksekutif Eksplorasi Institute Heriyono Nayottama mengungkapkan, bisa jadi masuknya Ahok memang atas kehendak Presiden Jokowi.
“Publik tahu bahwa Ahok adalah mantan wakil gubernur DKI Jakarta ketika Jokowi menjadi gubernurnya. Kedekatan emosional itu pasti ada,” kata dia, Kamis (14/11).
Penjelasan Heriyono, berdasarkan sepengetahuannya, penunjukkan posisi di BUMN strategis memang harus mendapat restu dari presiden, misalnya seperti PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).
“Tidak sembarangan orang bisa jadi petinggi di BUMN strategis. Ada sidang Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai langsung oleh presiden,” tegas dia.
Heriyono menekankan, keputusan Presiden Jokowi melalui Menteri Erick menunjuk Ahok sebagai petinggi salah satu BUMN adalah langkah blunder.
“Perlu diingat, ‘luka’ akibat konstalasi politik Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga kini belum pulih. Mungkin secara kinerja Ahok bagus, tapi aspek lainnya perlu juga dipikirkan, terutama soal suasana kondusif,” jelas dia.
Menurut Heriyono, kemunculan kembali Ahok jelas menimbulkan polemik, bahkan bukan tidak mungkin akan kembali melebar keberbagai aspek.
“Narasi mengajak Ahok menjadi petinggi salah satu BUMN akan kembali menjadi sumber polemik yang tidak berkesudahan, dan berpotensi mengulang ketegangan politik seperti pada 2017,” tegas dia.
Padahal, lanjut Heriyono, Indonesia memerlukan suasana kondusif untuk mengundang investor.
“Pak Jokowi dan Menteri Erick yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha seharusnya lebih memahami hal tersebut,” ucapnya.
Dia menambahkan, jika kondisi kondusif tidak bisa diciptakan, bisa dipastikan akan semakin banyak investor lama yang hengkang dan keengganan investor baru untuk berinvestasi di Indonesia.
“Jangan perparah kondisi ekonomi saat ini dengan sebuah keputusan yang bersifat emosional semata. Jangan membuat percikan atau gelombang di air yang sudah tenang,” katanya.
Heriyono mengatakan, meskipun memiliki hak prerogatif dan sebagai pemenang politik Presiden Jokowi bisa melakukan apapun, namun sebaiknya Presiden Jokowi memikirkan aspek kemaslahatan.
“Jangan terus menerus membuat keputusan yang menimbulkan polemik. Kembali soal Ahok, sebaiknya keputusan itu dikaji ulang,” jelasnya.
Reporter: Sam