Eksplorasi.id – PT Pertamina Hulu Energi (PHE) selaku induk dari PHE ONWJ terancam kolaps alias bangkrut jika insiden keluarnya gelembung gas di anjungan YY, sumur minyak lepas pantai Laut Jawa YYA-1 area Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ) yang kemudian menyebabkan kebocoran tumpahan minyak tidak segera diatasi.
Direktur Eksekutif Eksplorasi Institute Heriyono Nayottama mengatakan, PHE kemungkinan harus menanggung beban jutaan dollar AS hingga terburuknya mencapai miliaran juta dollar AS jika insiden tersebut tidak segera diatasi.
“Insiden itu cukup aneh, karena tidak ada faktor alam seperti gempa yang terjadi dalam kasus Lapindo tapi terjadi gelembung gas yang menyebabkan kebocoran,” kata dia di Jakarta, Jumat (26/7).
Dia menambahkan, bisa saja terjadi kesalahan pekerjaan operasional dan ada pekerjaan yang dikerjakan secara tidak teliti, misalnya seperti pekerjaan susunan pipa.
“Kalau misalnya kebocoran terjadi melalui lubang annulus (ruang antara pipa bor dan dinding sumur) bisa segera diatasi. Repotnya kalau dari pinggiran lubang sumur yang dekat dekat dengan kepala sumur (wellhead), bisa seperti istilah buntut kuda yang menyebar kemana-mana,” jelas dia.
Heriyono menjelaskan, jika sampai terjadi amblesan maka bisa menyebabkan patahan atau sesar di daerah sumur minyak. “Itu akan semakin sulit diatasi,” ujar dia.
Dia mencontohkan, pada kejadian sumur yang blow out, salah satu cara untuk menanggulanginya adalah dengan mengebor atau membuat relief well.
“Satu pekerjaan relief well drilling saat ini ditaksir menghabiskan dana hingga USD 100 juta atau setara Rp 1,4 triliun (kurs Rp 14.000),” terang dia.
Relief well merupakan sumur yang dibuat di dekat sumur yang blow out dengan tujuan untuk mengalirkan fluida yang mengakibatkan blow out sehingga dapat dikendalikan. Biasanya relief well dilakukan dengan pengeboran berarah atau horisontal (directional and horizontal drilling).
“Blow out (semburan liar) sebenarnya tidak perlu terjadi apabila kick (tendangan/tekanan) diketahui lebih dini oleh para petugas terkait. Blow out adalah merupakan persoalan yang cukup serius dalam operasi pengeboran. Banyak kerugian ditimbulkan oleh blow out,” katanya.
Heriyono menerangkan, ada sejumlah kemungkinan peristiwa tersebut bisa terjadi, misalnya kesalahan manusia (human error) atau karakter reservoir. “Ini yang perlu diselidiki secara tuntas,” jelasnya.
Penjelasan dia, kejadian di Blok ONWJ berbeda dengan yang terjadi dalam peristiwa Lapindo. Insiden Lapindo terjadi salah satunya karena faktor alam, yakni terjadinya gempa. “Di Blok ONWJ bisa terjadi karena penanganan overpressure dari formasi,” katanya.
Menurut dia, meskipun kejadian tersebut adalah risiko pemboran, dan sudah pasti diantisipasi dengan membayar asuransi, tapi tetap diperlukan audit oleh perusahaan asuransi yang bersangkutan agar asuransi bisa dibayarkan. “Belum lagi soal rezim gross split di mana semua biaya tidak ditanggung oleh cost recovery,” ujarnya.
Heriyono bercerita, bencana lingkungan di Teluk Meksiko beberapa waktu lalu bukan saja membuat BP mengeluarkan dana sangat besar, tapi juga merucak citra perusahaan minyak tersebut.
Ketika peristiwa Teluk Meksiko terjadi, seorang hakim Amerika Serikat memutuskan BP ‘terlalu lalai’ dalam kasus tumpahan minyak Deepwater Horizon. Keputusan itu membuat BP mengeluarkan biaya kompensasi berjumlah miliaran dollar.
Tumpahan minyak pada 2010 adalah yang terburuk dalam sejarah Amerika Serikat. BP pada awal 2016 menyatakan bahwa biaya tanggung jawab atas tragedi tumpahan minyak sebesar USD 61,6 miliar atau lebih dari Rp 850 triliun, termasuk kerugian pada kuartal kedua tahun tersebut.
“Kejadian hal serupa bukan tidak mungkin menimpa PHE di Blok ONWJ, meskipun kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi,” kata Heriyono.
Reporter: Sam.