Eksplorasi.id – Keputusan PT Pertamina menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi menuai polemik. Pasalnya, kenaikan tersebut tidak ada pemberitahuan soal rencana kenaikannya.
Pangkalnya, adalah isu ketidakberpihakan pemerintah melalui pengurangan subsidi. Maka, untuk mengurai polemik ini, ada dua hal pokok yang seharusnya dapat dilihat secara objektif.
Pertama, harga minyak domestik yang mengikuti harga minyak mentah dunia. Harga minyak dunia naik hampir 100% dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Ketidakpastian global yang terjadi memang memberikan andil yang besar pada kenaikan harga minyak mentah dunia.
Akhir pekan lalu, minyak mentah WTI berada di level US$74 per barrel, sedangkan minyak mentah Brent di US$79 per barrel. Tentu, tingginya harga minyak akan semakin membebani, terlebih Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak rezim terdahulu.
UU Nomor 22 Tahun 2001 jelas mengatur bahwa harga BBM diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Meski demikian, Peraturan ESDM Nomor 34/ 2018 tentang perubahan kelima atas Permen ESDM Nomor 34/2014 disebutkan bahwa badan usaha diberikan keleluasaan untuk menaikkan harga BBM non-subsidi namun tetap wajib melaporkan kepada Kementerian ESDM.
Kedua, soal BBM subsidi dan non subsidi. Meski BBM diserahkan pada mekanisme persaingan pasar, namun pemerintah memiliki instrumen subsidi sebagai mekanisme pelindung agar masyarakat miskin tidak terlalu terdampak.
Pembagian BBM subsidi dan non-subsidi tercantum dalam Perpres 43/2018. Pertama jenis BBM tertentu yang terdiri dari minyak tanah dan solar.
Kedua, jenis BBM khusus penugasan yaitu Premium RON 88. Jenis BBM pertama dan kedua termasuk dalam BBM yg bersubsidi.
Ketiga, jenis BBM umum yang terdiri dari seluruh jenis BBM di luar jenis BBM tertentu dan penugasan. BBM ketiga termasuk BBM non-subsidi. Penggolongan jenis BBM tersebut lebih karena kepentingan pemerintah untuk mengatur distribusi BBM yang lebih tepat sasaran.
Atas dasar itu, maka sebaiknya isu keberpihakan dan kenaikan harga BBM non-subsidi seharusnya dapat dipisahkan. Soal keberpihakan, reformasi dalam pengelolaan subsidi yang lebih produktif dapat dilihat sebagai indikator penting.
Dalam kurun waktu 2012-2014, total subsidi energi menyentuh angka Rp958 triliun. Sedangkan pada periode tahun 2015-2018 jumlah tersebut turun menjadi Rp323 triliun.
Pemangkasan tersebut kemudian dialokasikan untuk Belanja Infrastruktur kesehatan dan pendidikan yang naik dari Rp568 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp965 triliun pada tahun 2018.
Sedangkan kenaikan BBM non-subsidi lebih kepada urusan market targetting, sama halnya dengan narasi beras premium dengan beras sejahertera (rastra).
Sehingga, sudah semestinya isu kenaikan BBM non-subsidi dapat didudukkan dengan. Artinya, langkah Pertamina untuk menaikkan harga BBM non-subsidi adalah langkah yang tepat.
Dhenny Yuartha Junifta
Peneliti INDEF