Eksplorasi.id –Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) akhirnya resmi disahkan menjadi UU oleh DPR, Selasa (12/5).
Pengesahan dilakukan di dalam rapat paripurna di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta. Penetapan RUU Minerba dilakukan langsung oleh Ketua DPR Puan Maharani.
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto sebelum penetapan terlebih dahulu memaparkan laporan pembahasan dalam penyusunan RUU Minerba.
“Apakah RUU Minerba dapat kita setujui menjadi undang-undang?” tanya Puan yang kemudian dijawab setuju oleh anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna.
Secara keseluruhan, terdapat jumlah dua bab baru, sehingga terdapat 28 bab, terjadi perubahan 83 pasal, terdapat 52 pasal baru, dan 18 pasal yang dihapus. Sehingga total jumlah pasal menjadi 209 pasal.
Penetapan tersebut langsung disambut gembira oleh pengusaha batubara. Bahkan, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyambut baik keputusan tersebut.
Dikutip dari Detikcom di hari yang sama, Hendra menjelaskan bahwa UU baru itu dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan kepastian investasi jangka panjang.
“Secara umum saya kira UU ini sudah cukup positif diperspektif pelaku usaha. UU ini lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan kepastian investasi jangka panjang,” kata dia.
Dia melanjutkan, salah satu jaminan yang dimaksud adalah pemegang Kontrak Karya (KK) dan PKP2B akan memeroleh perpanjangan menjadi Izin usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa melalui proses lelang. Bahkan, kewenangan perizinan pertambangan kini dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Terpisah, RUU Minerba yang menjadi UU mendapat kritikan keras dari Masyarakat Sipil #BersihkanIndonesia.
Koordinator Masyarakat Sipil #BersihkanIndonesia Aryanto Nugroho menegaskan, pengesahan RUU Minerba merupakan bentuk jaminan atau bailout dan perlindungan terhadap korporasi tambang yang dilakukan oleh pejabat negara.
Dia kembali berkomentar, keputusan DPR dan pemerintah yang mengesahkan UU tersebut menjadi bukti bahwa kedua lembaga negara itu lebih mewakili kepentingan investor batubara dibandingkan mendengarkan aspirasi korban industri pertambangan dan rakyat.
Terjadinya debirokratisasi
Adanya UU baru itu membuat terjadinya penyederhanaan izin (debirokratisasi). Dilansir dari CNBCIndonesia.com, hal itu terlihat jelas dari pencabutan keharusan pemerintah berkonsultasi dengan DPR mengenai pengendalian produksi dan ekspor.
Semangat debirokratisasi juga terlihat dari penghapusan konsep dualisme Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Eksplorasi dan Operasi (pada pasal 1 ayat 8 dan 9). Dalam UU yang baru, hanya ada satu IUP. Demikian juga IUP Khusus (IUPK) tak lagi memiliki varian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi.
IUP menjadi lebih sederhana karena sudah mencakup dua aktivitas bisnis, yakni eksplorasi dan operasi produksi. Sebelumnya, IUP eksplorasi dan operasi-produksi dipisahkan sehingga pengusaha tambang harus mendaftar dua kali untuk kedua izin tersebut. Kini, cukup sekali.
Jika dulu deret yang harus dipenuhi dalam IUP berjajar dari poin A sampai X (sebanyak 24 item), maka kini hanya dari A sampai M (total 13 item). Izin eksplorasi pun kini bisa diperpanjang selama 1 tahun (sebagaimana diatur di pasal 42A).
Pemegang IUP pun boleh memiliki lebih dari satu IUP dan IUPK. Syaratnya, dia harus BUMN atau swasta yang memegang IUP komoditas non-logam dan mineral. Bahkan, IUP mineral logam dan batu bara tak lagi dibatasi minimal 5.000 hektare (ha). Penambang-penambang skala kecil kini bisa mendapatkan IUP untuk eksplorasi di Wilayah IUP (WIUP) yang kecil.
Namun, penyederhanaan izin usaha itu dibarengi dengan munculnya izin tambahan untuk aktivitas pendukungnya, yakni Izin Pengangkutan dan Penjualan, serta Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP). Keduanya disisipkan di ayat 13 pasal 1.
Kewenangan daerah dipangkas
Masih melansir CNBCIndonesia.com, UU Minerba yang baru ini diprediksi bakal menjadi musuh banyak pemerintah daerah (pemda).
Alasannya, karena kewenangan daerah mutlak dipangkas. Setidaknya 19 pasal telah direvisi demi menghapus kewenangan pemda ini, yakni pasal 4, 7, 8, 11, 15, 21, 67, 72, 73, 93, 105, 113, 118, 119, 121, 123, 140, 141, dan 142.
Pertama, di pasal 4 ayat 2 pemda tidak lagi masuk dalam konteks penguasaan minerba yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Sebelumnya, pemd) masuk bersama pemerintah pusat dalam konteks ‘penguasaan’ tersebut.
Kewenangan pemda dalam perizinan tambang juga dibabat habis, dengan penghapusan dua pasal, yakni pasal 7 (untuk kewenangan pemerintah provinsi) dan pasal 8 (untuk kewenangan pemerintah kabupaten/kota).
Keterlibatan pemda dalam penyelidikan dan penelitian pertambangan pun dihapuskan, dan menjadi milik pemerintah pusat secara mutlak yang diwakili oleh menteri ESDM. Sebelumnya, kewajiban pemda melakukan itu diatur di pasal 11.
Kondisi ini memberi angin bagi pengusaha swasta untuk terlibat dalam proses yang sebelumnya hanya dilakukan oleh pemerintah. Istilahnya, menteri bisa melakukan swastanisasi penyelidikan calon areal tambang. Posisi penting aktivitas penyelidikan ini bakal menentukan data sumber daya dan cadangan mineral wilayah tersebut.
Hak pemerintah pusat untuk melimpahkan kewenangan penetapan Wilayah Usaha Penambangan (WUP) ke pemda (di pasal 15) pun dihapuskan. Demikian juga dengan hak bupati/walikota menetapkan Wilayah Penambangan Rakyat (WPR) di pasal 21 yang dihapuskan.
Bagi pelaku usaha, aturan tambang bakal lebih fleksibel. Untuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), batasan cadangan primer logam dan batubara diperluas, tidak hanya berkedalaman 25 meter, melainkan boleh sampai 100 meter.
Luas maksimal WPR pun diperluas, dari 25 hektare (ha) menjadi 100 ha. Lalu, WPR tersebut tidak lagi harus memenuhi syarat: harus sudah dikerjakan oleh rakyat minimal 15 tahun. Baru mau digarap pun sudah bisa dikategorikan WPR.
Dengan UU Baru ini, maka WPR akan bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak menutup kemungkinan, perusahaan tambang akan memecah operasinya dengan mengubah status WPR, yang telah menjadi begitu fleksibel.
Namun untuk urusan jaminan, pemda tetap diminta pasang badan. Pasal 17 A memberikan jaminan untuk Wilayah Izin Usaha Penambangan (WIUP) dan WPR, di mana pemerintah pusat (dan daerah) menjamin tak akan ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan.
Kepentingan perluasan investasi
Situs Mongabay.co.id mlansir, RUU Minerba masuk program legislasi nasional sejak 2015 dan masuk lagi pada tahun ini.
Semula, revisi UU ini muncul untuk penyesuaian dengan perubahan regulasi terkait, seperti UU Pemerintah Daerah, UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH), UU Keuangan dan Penerimaan Negara, UU Tata Ruang, Kelautan dan Sistem Zonasi dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Selain juga merespon situasi dan tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan UU Minerba, seperti implementasi pelaksanaan hilirisasi dan peningkatan nilai tambah, perubahan sistem kontrak ke perizinan, desentralisasi dan tantangannyam rekomendasi perbaikan dari korsup KPK dan KESDM.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah mengingatkan, izin pertambangan tidak boleh menyalahi tata guna dan peruntukan lahan atau hutan.
Caranya, dengan tetap mematuhi keseimbangan dan kepatuhan lingkungan hidup seperti kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
“Penetapan berbagai wilayah pertambangan juga harus didasari atas KLHS atau cost and benefit analysis,” kata Maryati, masih melansir Mongabay.co.id.
Dia menambahkan, untuk proses perpanjangan dan pergantian kontrak pertambangan jadi izin juga tidak boleh menyalahi aturan UU dan tetap memperhatikan peran BUMN.
Maryati mengatakan, proses pemberian izin harus berkonsultasi dan melibatkan masyarakat sekitar tambang, pemda dan pemangku kepentingan terkait proses due diligence ketat.
“Sistem perizinan satu pintu atau online single submission harus mampu meningkatkan kepatuhan bukan hanya memperoleh izin.”
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah punya catatan soal revisi UU Minerba. Menurut Jatam, RUU ini lebih berisi tentang kepentingan perluasan investasi dan pengusahaan pertambangan.
“Itu terlihat sejak aspek perencanaan yang tidak melihat salah satu aspek kawasan rentan bencana sesuai UU Kebencanaan,” kata Merah.
Dalam revisi UU ini, katanya, bahkan tak punya semangat membatasi perluasan atau laju ekspansi pertambangan, juga bagi wilayah produksi rakyat.
Merah mencontohkan, ekspansi pada kawasan produksi pangan maupun dengan infratsruktur ekologi penting seperti pulau-pulau kecil dan pesisir.
Dalam aspek perizinan dan pengusahaan, RUU Minerba, malah mempermudah perizinan, salah satu dengan membolehkan pemegang IUP di satu provinsi memiliki IUP dengan komoditas sama. RUU ini juga membuka keran bagi penambangan logam tanah jarang dan radioaktif.
“Tidak ada aspek dalam RUU Minerba ini yang melindungi keselamatan rakyat, pembatasan ekspansi dan hak veto rakyat. Sebaliknya, akan makin menguatkan oligarki tambang, melindungi korupsi dan memberangus dengan cara mengkriminalkan rakyat.”
Karpet merah pengusaha batubara
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengkritik keras pembahasan revisi UU Minerba menjadi UU yang sedemikian cepat.
Kesan mengakomodasi kepentingan pengusaha batubara yang masa kontraknya akan segera berakhir sangat kental.
“Cepatnya pembahasan RUU Minerba terkesan begitu kental hanya untuk mengamodasi kepentingan tujuh pengusaha pemegang PKP2B generasi pertama yang sudah 30 tahun menguasai separuh dari total produksi nasional batu bara, yaitu sekitar 200 juta metrik ton per tahun,” tegas dia.
Catatan Yusri, revisi UU Minerba ini sangat krusial bagi perusahaan pemegang PKP2B yang akan segera habis masa berlakunya. Ada tujuh pemegang PKP2B generasi pertama yang akan habis masa kontraknya.
Mereka adalah PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal Indonesia.
PT Kaltim Prima Coal (KPC) akan habis kontraknya pada 31 Desember 2021 dan PT Arutmin Indonesia pada 1 November 2020. Lalu, PT Adaro Energy Tbk pada 1 Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung pada 13 Maret 2023, dan PT Berau Coal Energy pada 26 April 2025.
Penjelasan Yusri menegaskan, di dalam UU Minerba yang lama, semua tambang PKP2B generasi pertama yang sudah berakhir kontraknya wajib diberikan hak pengelolaannya kepada BUMN/BUMD untuk menjaga ketahanan energi nasional.
“Penguatan peran BUMN hanya sebagai pengecoh publik seolah-olah pemerintah dan DPR sangat pro-rakyat, padahal kenyataan berbeda, karena semuanya hanya pepesan kosong,” ungkap dia.
Yusri dengan lantang berkomentar, pemegang KK dan PKP2B telah membangkang terhadap UU Minerba sejak diberlakukan pada awal Januari 2009.
Pada Pasal 169 UU Minerba dikatakan bahwa KK dan PKP2B yang ada berlaku sampai kontrak berakhir, hanya diwajibkan menyesuaikan dengan isi UU Minerba selama satu tahun sejak diberlakukan UU Minerba, kecuali soal penerimaan negara. “Poin inilah yang dilanggar oleh semua pemilik KK dan PKP2B, dan negara tak berdaya,” ujar dia.
Reporter : Her