Eksplorasi.id – Sejumlah kontrak gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di PT Pertamina (Persero) dinilai penuh kejanggalan dan sangat merugikan perseroan.
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kini duduk sebagai komisaris utama (komut) Pertamina diminta untuk segera membenahi semua kejanggalan tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman di Jakarta, Senin (3/2).
“Ahok harus menanyakan kepada direksi Pertamina soal kontrak pembelian LNG yang diduga telah merugikan Pertamina selama kontrak berlangsung. Bisa jadi LNG yang dibeli Pertamina harganya jauh lebih mahal sekitar 30 persen dari harga yang wajar,” ujar dia.
Yusri lalu membeberkan sejumlah kontrak LNG yang harus segera dievaluasi. Pertama, kontrak Pertamina dengan Corpus Christi Liquefaction Liability Company, anak usaha Cheniere Energy Inc, perusahaan energi yang berbasis di Houston, Texas, Amerika Serikat.
“Corpus di dalam kontrak dengan Pertamina memasok LNG sebanyak 0,76 juta ton per tahun selama 20 tahun. LNG akan dipasok dari Corpus Christi Liquefaction Terminal Train 2, Texas, Amerika Serikat rencana semula mulai 2019,” jelas dia.
Dia menambahkan, berdasarkan fluktuasi harga, impor gas tersebut kini sangat tidak kompetitif. Pertamina membeli gas dari Cheniere pada 2014, yakni saat harga minyak dunia masih mencapai titik USD 100 per barel, sehingga gas tersebut masih kompetitif untuk di bawa ke Indonesia saat itu.
“Kini saat harga minyak terus menurun, bahkan hanya berada di level USD 50 per barel. Harga impor LNG itu kini jelas sangat merugikan Pertamina,” tegas Yusri.
Pertamina dan Corpus Christi meneken perjanjian jual beli (PJB) LNG kedua pada 1 Juli 2014. Sekedar informasi, kontrak perjanjian tersebut merupakan kesepakatan kedua antara Pertamina dan Cheniere Energy setelah dua perusahaan menandatangani perjanjian jual beli (PJB) LNG pertama pada 4 Desember 2013.
Yusri menambahkan, kontrak LNG lain yang bermasalah adalah antara Pertamina dengan produsen LNG asal Australia, Woodside Energy Ltd melalui Woodside Energy Trading Singapore Pte Ltd.
Kedua perusahaan itu meneken perjanjian jual beli jangka panjang. Woodside Singapore akan memasok 600 ribu ton LNG per tahun dari 2022 hingga 2034. Pasokan LNG akan dimulai pada 2019.
“Dalam perjanjian jual beli (sales purchase agreement/SPA) tersebut juga terdapat opsi pengiriman kargo bisa ditingkatkan hingga 1,1 juta ton per tahun untuk periode pengiriman 2024 hingga 2038,” jelas dia.
Yusri mengungkapkan, pasokan LNG yang akan dipasok ke Pertamina melalui SPA tersebut konon berasal dari portofolio global Woodside. Kerja sama itu menjadikan emiten bersandi WPL di Bursa Australia tersebut sebagai pemasok LNG yang signifikan untuk Indonesia.
“Berikutnya kontrak LNG yang diduga bermasalah adalah kontrak LNG antara ExxonMobil dengan Pertamina. Kontrak itu diteken pada periode 20-21 April 2017, di sela kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence ke Indonesia. Pertamina bakal mengimpor gas dari ExxonMobil sebanyak 1 juta ton tiap tahun mulai dari 2025 sampai 2045,” ujar dia.
Terakhir, lanjut Yusri, kontrak LNG yang juga diduga bermasalah adalah kontrak antara Pertamina dengan Anadarko Petroleum Corporation dari Mozambik LNG1 Company Pte Ltd, yang merupakan entitas penjualan bersama yang dimiliki dari Mozambik Area 1 co-venturer. Perjanjian jual beli tersebut untuk satu juta ton per tahun dengan jangka waktu 20 tahun.
Beberapa waktu lalu, melalui keterangan resminya, Wakil Presiden Eksekutif Anadarko, Internasional, Deepwater & Eksplorasi Mitch Ingram menjelaskan, Indonesia dipilih karena diharapkan menjadi salah satu pasar gas alam dengan pertumbuhan tercepat di Asia.
“Kami sangat senang dan berterima kasih kepada Pertamina karena memilih LNG Mozambik untuk menjadi bagian dari portofolio energi jangka panjangnya,” tutur Mitch.
Seperti diketahui, Anadarko sedang mengembangkan fasilitas LNG darat pertama di Mozambik yang terdiri atas dua kereta LNG awal dengan total kapasitas papan nama 12,88 MTPA untuk mendukung pengembangan Lapangan Golfinho/Atum yang terletak seluruhnya di dalam Area Offshore 1.
“Saat itu Direktur Pemasaran Korporat Pertamina Basuki Trikora Putra pernah berkata bahwa pembelian gas itu rencananya untuk kebutuhan domestik, yang mayoritas digunakan untuk listrik dan RDMP. Dia (Basuki, red) juga berkata bahwa ambil LNG dari Mozambik karena lebih murah, term-nya juga bagus, dan punya yang kualitas bagus,” ucap Yusri.
Ironi LNG Domestik
Di satu sisi, tegas Yusri Usman, Pertamina saat ini dalam posisi kesulitan menjual LNG bagian negara, terutama dari Lapangan Tangguh.
“Kebijakan pembelian (impor) LNG di atas telah merusak akal sehat kita dalam melihat proses bisnis yang dilakukan oleh Pertamina. Perlu diketahui, hingga 2025, pemerintah berencana mengekspor LNG sebanyak 84 kargo ke Singapura,” terang dia.
Bahkan pada 2018 ada sekitar 10 kargo LNG yang tidak terserap penggunaannya di dalam negeri (uncommited). Rencananya, pada 2020 LNG yang akan diekspor sebanyak empat kargo. Setelah itu, jumlahnya meningkat menjadi 16 kargo setiap tahun hingga 2025. Sekedar informasi, LNG yang akan diekspor itu berasal dari lapangan gas Tangguh Train 3 milik BP.
Pada semester pertama 2019, lanjut Yusri, bahkan ada 10 kargo LNG yang akan dijual di pasar spot internasional. Sebanyak 10 kargo tersebut berstatus uncommitted atau tidak terserap di pasar dalam negeri dan belum terkontrak. Produk itu berasal dari tiga fasilitas pengolahan, yakni kilang LNG Bontang, kilang Tangguh dan Donggi Senoro.
“Pengangkatan Ahok sebagai komut Pertamina Persero oleh Menteri BUMN Erick Thohir tentu punya maksud dan tujuannya agar kehadiran Ahok bisa membenahi proses bisnis di Pertamina yang oleh publik ditenggarai banyak terjadi kongkalikong,” katanya.
Berharap Pada Ahok
Sisi lainnya, Yusri Usman juga berharap kehadiran Ahok sebagai komut Pertamina bisa membenahi sejumlah proses bisnis yang sangat merugikan keuangan Pertamina selama ini, mulai dari hulu ke hilir.
“Kehadiran Ahok sebagai komut Pertamina perlu diuji apakah dia bisa berhasil membenahi perseroan atau tidak. Presiden Joko Widodo pun mungkin juga berharap kehadiran Ahok bisa membawa perubahan yang lebih baik bagi Pertamina,” terang dia.
Komentar Yusri, sejumlah kasus yang diduga merugikan Pertamina mulai dari era Pertamina dipimpin oleh Karen Agustiawan (2009–2014), Dwi Soetjipto (2014–2017), Elia Massa Manik (2017–2018), hingga kini oleh Nicke Widyawati (2018–sekarang) patut ditelisik oleh Ahok.
Yusri lalu menerangkan sektor hulu yang harus segera di evaluasi misalnya adalah pembelian saham blok migas di luar negeri yang diduga kemahalan dan memiliki tingkat risiko yang tinggi serta berpotensi sangat merugikan keuangan Pertamina.
Salah satunya adalah pembelian 72,65 persen saham milik Maurel & Prom, perusahaan energi asal Paris, Prancis. Maurel & Prom diketahui mengelola lapangan minyak di tiga negara Afrika, yakni di Gabon, Tanzania dan Nigeria.
“Namun, total produksi hanya 30 ribu barel ekuivalen per hari dengan total cadangan hanya sekitar 250 juta barel. Pertamina mencari pinjaman sekitar Euro 700 juta untuk proses akuisisi lapangan milik Maurel & Prom itu,” katanya.
Penjelasan Yusri, pembelian aset itu sangat aneh karena telah melepas kesempatan membeli aset West Qurna 2 di Irak yang produksinya setara produksi lapangan Chevron di Riau.
“Ahok juga harus membenahi metode tender di fungsi Integrated Supply Chains (ISC) Pertamina dalam hal proses pengadaan minyak mentah. Sudah seharusnya diakhiri tender pengadaan minyak mentah dengan menyebut nama negara dan nama lapangan,” terang dia.
Yusri menekankan, dalam proses tender minyak cukup disebut spesifikasi teknis minyak sesuai kemampuan kilang Pertamina. “Misalnya kandungan sulfur harus di bawah 1,5 persen. Kalau hal ini dilakukan, pasti akan didapat harga minyak mentah yang lebih murah dari yang sudah selama ini dilaksanakan.”
Dia berpendapat, sejumlah persoalan di atas tentu menjadi ujian bagi Ahok. “Apakah dia (Ahok) bisa membenahinya atau dia hanya seperti harimau sirkus? Seandainya Ahok berhasil membenahi persoalan pelik itu , tentu menjadi kredit point yang tinggi dan sebagai modal politik dia bisa berkiprah pada 2024 nanti,” ujar Yusri.
Reporter: HYN