Eksplorasi.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mengusut benang merah keterlibatan Johanes Budisutrisno Kotjo, pemilik Blackgold Natural Insurance Limited, dengan Samin Tan, pengusaha batubara.
Samin Tan juga dikenal sebagai pengendali dari dua perusahaan, yakni PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) dan PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk.
“Pelacakan itu bisa dengan proses
bank checking, agar diperoleh informasi sumber dana dan ke mana saja dana Blackgold berseliweran terkait kasus suap PLTU Riau 1,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman di Jakarta, Kamis (13/9).
Dia mengatakan, dengan adanya proses bank checking diharapkan diperoleh seluruh dokumen Blackgold dan siapa saja nominees (kepemilikan saham dengan meminjam nama orang lain, red) yang dipakai untuk dan atas nama Blackgold dan hubungan nominees dengan Samin Tan dan Johanes B Kotjo.
“Selain itu, KPK sebaiknya juga mengembangkan kasus pembelian solar (high speed diesel/HSD) untuk kebutuhan PT AKT dari PT Pertamina Patra Niaga senilai sekitar USD 42 juta sejak 2009,” jelas dia.
Menurut Yusri, pembayaran PT AKT ke Patra Niaga kemudian diketahui mengalami macet pembayaran sejak Juli 2012 dan penyelesaiannya berujung Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Anehnya mengapa bisa mencapai tunggakan sebesar itu. Padahal dalam kontrak seharusnya dibayar setiap bulan dengan LC (Letter of Credit) atau Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN),” ujar dia.
Yusri menduga ada permainan antara oknum PT AKT dengan oknum direksi Patra Niaga.
Penjelasan dia, kondisi itu memancing pertanyaan aneh mengapa bisa Patra Niaga memberikan diskon harga solar hingga 5,5 persen dari MOPS (Mean Oil Platts Singapore), dan jumlah tunggakan mencapai puluhan juta dolar Amerika.
“Sementara semua pemilik SPBU dan industri yang membeli BBM ke Pertamina normalnya bayar dulu di depan baru BBM diserahkan oleh Pertamina,” ungkap Yusri.
Selain itu, imbuh dia, KPK juga perlu mendalami potensi kerugian negara sebesar Rp 868 miliar akibat PT AKT diduga menambang secara ilegal
Sejak penghentian izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara ( PKP2B) oleh menteri ESDM pada 27 Oktober 2017.
Reporter : HYN