Eksplorasi.id – Koordinator Tim Sumber Daya Alam Direktorat Litbang KPK Dian Patria mengungkapkan, per Juni 2016 terdapat 1.222 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dicabut, tidak diperpanjang dan dikembalikan karena tidak memenuhi syarat.
Dian Patria menjelaskan, masih banyak upaya eksploitasi sumber daya alam yang tidak mengikuti aturan yang ada. Bisa jadi itu legal tapi tidak legitimate.
“Artinya legal di atas kertas tapi tidak legitimate di lapangan seperti terjadi konflik, izin tidak clean and clear,” kata Dian di Jakarta, ditulis Rabu (31/8).
KPK sejak Februari 2014 membuat Tim Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Mineral dan Batubara di 32 provinsi bersama Polri, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Lima fokus kegiatan korsup, yaitu penataan izin usaha pertambangan (IUP), pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha pertambangan minerba, pengawasan produksi pertambangan minerba, pelaksanaan kewajiban pengolahan/pemurnian hasil tambang minerba serta pengawasan penjualan dan pengangkutan/pengapalan hasil tambang minerba.
Hasil korsup menunjukkan terdapat banyak masalah penerbitan IUP antara lain pergeseran atau Perluasan Koordinat IUP, koordinat yang salah, masuk ke dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, tumpang tindih baik dengan komoditas maupun beda komoditas.
Selain itu, tidak membayar kewajiban keuangan royalti, iuran Ttetap, jaminan reklamasi, jaminan kesungguhan, jaminan pascatambang, satu IUP memiliki lebih dari satu blok wilayah hingga pengajuan permohonan perpanjangan atau peningkatan kuasa pertambangan (KP) dan IUP setelah berakhirnya masa berlaku. “Hasilnya hingga April 2016 terdapat 3.982 IUP yang berstatus non clean and clear dari total 10.348 IUP seluruh Indonesia,” katanya.
Bahkan dari 7.834 pemegang IUP, hanya ada 5.984 yang punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan dari jumlah itu yang membayar pajak hanya berjumlah 2.304 atau 29 persen. Bila ditotal, terdapat piutang dari IUP ada Rp 908,868 miliar yang berasal dari iuran tetap, royalti dan pendapatan hasil tambang (PHT).
Belum lagi masalah tumpang tindih di kawasan hutan terdapat 4,9 juta hektare kawasan hutan lindung masuk dalam di IUP tanpa izin pinjam pakai dan 1,3 juta hektare hutan konservasi ada IUP. “Itu faktanya. Dari kacamata kami, dalam pemberian izin tidak dilakukan dengan prudent dan hati-hati serta tidak dicek syarat-syaratnya,” ungkap Dian.
Terdapat sejumlah sebab izin-izin tersebut keluar. Namun menurut Dian, hal itu terjadi karena lemahnya pengawasan. “Ada istilah IUP pilkada. IUP tumbuh atau meledak saat mau pilkada. Jadi untuk money politics, karena lemah pengawasan atau banyak pihak main mata,” kata Dian.
Hasil dari korsup tersebut, menurut dian, adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan IUP Minerba.
Aturan itu mewajibkan bupati menyerahkan seluruh IUP kepada gubernur paling lambat 90 hari setelah permen dikeluarkan, yaitu pada 30 Desember 2015 atau paling lambat 12 Mei 2016 dan selanjutnya Gubernur menyerahkan kepada menteri ESDM.
“Sulawesi Tengah sudah menyerahkan karena kebetulan bupatinya kooperatif tapi banyak bupati yang tidak menyerahkan data terkini ke gubernur,” katanya.
Tapi dengan adanya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang efektif 2 Oktober 2016, maka pakai acuan paling ujung. “Artinya 2 Oktober ini bupati harus menyerahkan semua izinnya dan ditambah 90 hari lagi sudah masuk ke tahun 2017 maka tidak ada pilihan lagi ribuan IUP itu bisa jadi berhenti,” tegas Dian.
Reporter : Ponco Sulaksono