Eksplorasi.id – Sejumlah kalangan menilai harga gas di Indonesia lebih mahal dibanding Singapura. Padahal, Singapura sama sekali tidak memiliki ladang gas.
Saat ini, harga gas untuk kalangan industri di Indonesia berkisar USD 10 per MMbtu, sementara di Singapura, industri membeli gas dengan harga sekitar USD 4 per MMbtu.
Luhut Binsar Panjaitan, menko Kemaritiman sekaligus Plt menteri ESDM, mengatakan, anomali harga gas di Indonesia terjadi akibat dari manajemen pengelolaan yang kacau di sektor energi.
Dia mengungkapkan, harga gas di Indonesia menjadi tidak efisien karena panjangnya rantai pasokan dari hulu sampai ke industri. Dia mencontohkan misalnya, gas dari hulu mengalir melalui pipa transmisi milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) atau PT Pertamina Gas (Pertagas) dikenakan biaya toll fee.
“Tapi, gas di hulu sering tidak langsung dijual ke PGN atau Pertagas, tapi ke trader yang berperan sebagai calo dulu. Trader ini tak punya pipa, mereka menjual alokasi gas yang didapatnya ke trader lain sampai bertingkat-tingkat, baru ke PGN atau Pertagas. Ini membuat harga gas menjadi tinggi begitu sampai di industri,” kata dia, ketika bicara dalam Forum Ketahanan Energi Nasional di Jakarta, Kamis (8/9).
Menurut Luhut, banyak kesalahan manajemen (miss management) dalam pengelolaan gas di dalam negeri. “Harga gas mungkin di hulu hanya USD 4 per MMbtu, sekarang berapa toll fee? Kita punya PGN, Pertagas, masing-masing punya pipa sendiri. Lalu ada pengusaha nggak punya pipa dapat gas saja. Lengkaplah penderitaan kita,” ujar dia.
Luhut lalu memberi contoh disejumlah negara tetangga. Di negara tetangga, rantai distribusi gas tidak dilakukan secara bertingkat, dan harga gas untuk industri disubsidi. “Negara mengejar penerimaan dari multiplier effect yang dihasilkan industri. Di negara sekitar kita, gas itu sudah disubsidi, sehingga tidak menjadi revenue buat negara,” jelas dia.
Menurut Luhut, pihaknya telah berbicara dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati perihal penurunan harga gas. Luhut meminta Kemenkeu tidak menjadikan gas sebagai sumber penerimaan negara.
“Lagi kami exercise, sekarang lagi kami kerjakan. Saya koordinasi dengan Bu Sri Mulyani, supaya melihat bagaimana agar gas ini jadi prime mover ekonomi kita, sehingga harga gas itu memberi multiplier effect ke industri,” kata dia.
Luhut menambahkan, ke depan pendapatan negara dari gas di hulu akan dipangkas. Ini dilakukan agar sampai di industri harga gas menjadi lebih murah.
“Ujung-ujungnya negara akan tetap untung, industri akan lebih bergeliat, sehingga bisa menyumbang pajak lebih besar, menghasilkan banyak lapangan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnnya.
Reporter : Ponco Sulaksono