Eksplorasi.id – Langkah Menteri BUMN Rini Mariani Soemaro mencopot sejumlah direksi PT Pertamina (Persero), terutama Elia Massa Manik, dianggap sebagai langkah yang tepat meskipun agak terlambat.
Sebelumnya, dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Pertamina pada Jumat (20/4) posisi Massa Manik sebagai direktur utama (dirut) Pertamina dicopot.
Sebagai penggantinya adalah Nicke Widyawati yang menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) dirut merangkap juga sebagai direktur SDM Pertamina. Selain Massa Manik, sejumlah direksi pun ikut diganti.
“Sejak awal pengangkatan Massa Manik menjadi dirut Pertamina pada 16 Maret 2017, saya adalah orang yang pertama menentang kebijakan menteri BUMN tersebut,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman di Jakarta, Sabtu (21/4).
Menurut dia, Menteri Rini telah salah memilih orang yang tepat untuk memimpin Pertamina. Yusri pun mempertanyakan siapa yang telah salah membisikkan Presiden Joko Widodo yang menyetujui pengangkatan Massa Manik.
“Berdasarkan penelusuran saya, prestasi Massa Manik di holding perkebunan (PT Perkebunan Nusantara III) jauh dari kategori berhasil. Faktanya, kinerja keuangan holding perkebunan saat dipimpin Massa Manik memburuk,” ujar dia.
Dia menambahkan, jika kemudian yang menjadi salah satu pertimbangan adalah saat Massa Manik memimpin PT Elnusa Tbk, hal itu juga masih disangsikan oleh sejumlah pihak.
“Massa Manik jelas terbukti gagal memimpin Pertamina. Lihat saja potensi kerugian Pertamina pada 2017 yang mencapai sekitar Rp 24 triliun,” jelas dia.
Belum lagi soal langkanya premium dan solar disejumlah daerah yang menimbulkan aksi demonstrasi. Terakhir, adanya peristiwa lingkungan paling tragis tercemarnya air laut dengan tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur akibat patahnya jalur pipa minyak.
“Memilih pucuk pimpinan yang paling tepat di Pertamina bukan perkara mudah. Jika salah memilih, citra presiden di masyarakat pun akan ikut terseret buruk. Sebab, selain BUMN yang paling strategis, Pertamina juga menyangkut soal hajat hidup orang banyak,” kata Yusri.
Di sisi lain, imbuh dia, perputaran uang di Pertamina yang mencapai USD 100 juta per hari, mulai dari hulu hingga hilir, menyebabkan ‘banyak pemain besar’ yang terlibat di dalam di dalam rantai bisnis Pertamina.
Terpisah, pengamat energi Universitas Gajah Mada Fahmi Radhy pun merespons positif soal pencopotan Massa Manik tersebut.
“Dia (Massa Manik) saya rasa pantas diganti. Alasannya, Massa Manik terlalu sering mengeluh terhadap penugasan BBM, terutama soal BBM satu harga,” ujarnya.
Dia menegaskan, langkah Pertamina di bawah Massa Manik yang mengurangi pasokan premium sebagai suatu hal yang sangat berisiko, apalagi di tengah kenaikan harga BBM non penugasan seperti pertalite, pertamax dan sejenisnya.
“Manuvernya sangat membahayakan dengan mengurangi pasokan premium yang menyebabkan terjadinya kelangkaan di Jamali (Jawa, Madura, Bali). Kemudian Massa Manik menaikan harga pertalite meski hanya Rp 200 yang membuat selisih harga semakin besar,” jelasnya.
Sofyan Basir Calon Kuat?
Di satu sisi, Yusri Usman meminta Kementerian BUMN tidak lagi salah memilih nakhoda Pertamina berikutnya.
“Kalau salah lagi, Pertamina akan menjadi BUMN yang sering menggelar RUPSLB. Kali ini harus orang yang benar-benar paham soal pola bisnis dan budaya kerja di Pertamina,” katanya.
Terkait pengganti Massa Manik, Yusri berkomentar bahwa beredar rumor calon kuat dirut Pertamina adalah Sofyan Basir, yang kini duduk sebagai dirut PT PLN (Persero).
“Kalau Sofyan Basir yang dipilih, ini akan menjadi kesalahan fatal menteri BUMN untuk yang kesekian kalinya, setelah salah memilih Massa Manik,” jelasnya.
Penjelasan Yusri, Sofyan Basir diduga terkait soal kasus sewa kapal pembangkit dari Turki yang dipergunakan disejumlah daerah di Indonesia.
“Berita soal sewa kapal Turki itu sekarang kembali marak. Rumornya, berita itu konon diduga diorder oleh grup dari yang akan tersingkir dalam RUPSLB tersebut,” ungkap dia.
Komentar Yusri, jika kasus sewa kapal Turki ternyata benar dikemudian hari dan berujung kasus hukum dan Sofyan Basir dipilih sebagai dirut Pertamina, bukan tidak mungkin Pertamina akan ikut terseret dalam kasus itu.
Sebelumnya, Jaringan Milenial Anti Korupsi (JMAK) pun mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas korupsi di tubuh PLN terkait sewa kapal itu. JMAK sudah melaporkan korupsi tersebut sejak 26 November 2017.
Menurut JMAK, dugaan korupsi itu terjadi sejak Sofyan Basyir menetapkan kontrak proyek Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menggunakan lima unit kapal pembangkit listrik terapung milik Kapowership Zeynep Sultan, perusahaan asal Turki. Kontrak itu berlaku sejak 2015 hingga 2020.
Koordinator JMAK Mochammad Afandi pernah berkomentar, pembangkit listrik Kapal Turki itu kini dioperasikan di perairan lima provinsi, yaitu di Waai, Maluku Tengah dengan kapasitas 120 megawatt (MW), Sumatera Utara (250 MW), Sulawesi Selatan (200 MW), Kalimantan Tengah (200 MW), dan Sulawesi Utara (120 MW).
“Dugaan korupsi terjadi karena PLN memaksakan pengadaan listrik dengan sewa kapal sehingga terjadi pemborosan per unit mencapai Rp 7,9 triliun dibandingkan dengan PLTD darat,” ucap dia.
Pemborosan lain, jelas Afandi, diduga terjadi mark up. Faktanya, bahan bakar yang digunakan selisih Rp 450 per kWh. Jika memakai bahan bakar diesel darat Rp 400 per kWh, untuk kapal Turki naik menjadi Rp 885 per kWh.
“Kejanggalan lain, sewa kapal Turkir sengaja dipaksakan karena awalnya berdalih menggunakan bahan bakar gas tapi faktanya gas tidak ada dan digantikan BBM impor. Ini pun diduga banyak permainan broker dan tindakan koruptif,” ungkap Afandi.
Reporter: HYN