Eksplorasi.id – Lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s (S&P) belum memberikan peringkat “investment grade” atau layak investasi kepada Indonesia pada Juni 2016.
Dikutip dari publikasi S&P yang diterima di Jakarta, Rabu malam, lembaga pemeringkat yang bermarkas di New York, AS, itu menekankan bahwa kinerja instrumen fiskal atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pemerintah belum begitu membaik, baik yang telah berjalan secara rutin maupun secara struktural.
Namun, S&P memuji kerangka penyusunan instrumen fiskal Indonesia, yang seharusnya dapat meningkatkan kualitas dari belanja pemerintah dan pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi dari instrumen fiskal sesuai ekspetasi.
“Namun, performa fiskal belum membaik untuk secara siklus dan struktural,” tulis S&P.
Oleh karena itu, S&P memberikan peringkat BB+ untuk peringkat surat utang jangka panjang dan B untuk surat utang jangka pendek. Prospek untuk peringkat jangka panjang bagi Indonesia adalah positif.
S&P menekankan jika kerangka fiskal yang sudah disusun pemerintah mampu diiringi dengan perbaikan performa fiskal, dengan penurunan defisit anggaran dan jumlah pinjaman, tidak menutup kemungkinan peringkat Indonesia akan naik.
Peringkat yang diberikan ke Indonesia, secara umum karena ditinjau dari pencapaian menengah untuk indikator fiskal dan eksternal, dan pendapatan per kapita yang masih rendah. Namun, di sisi lain kebijakan dan regulasi kelembagaan telah membaik, dan kebijakan moneter yang diambil cukup kredibel.
S&P dalam publikasinya juga memuji reformasi struktural yang sedang dijalankan pemerintah karena akan memberikan relaksasi kebijakan dan sikap tanggap pemerintah yang baik. Ke depannya, reformasi struktural, seperti pengurangan subsidi energi, perbaikan iklim bisnis, dan peningkatan belanja perlindungan sosial, akan menaikkan konsumsi masyarakat dan investasi.
Namun, S&P menilai Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita untuk Indonesia masih berada di rentang terbatas, yakni sekitar 3.600 dolar AS pada tahun ini. Pada tahun ini, untuk PDB, S&P memerkirakan akan tumbuh 5 persen, dengaan catatan mengalirnya dukungan investasi publik. Proyeksi itu juga sejalan dengan perkiraan rata-rata pertumbuhan Indonesia di kisaran 5,5 persen pada 2016-2019.
Dari sisi anggaran S&P menilai pendapatan negara dari sektor minyak yang turun akan menahan perluasan ruang fiskal setelah pemerintah melakukan reformasi anggaran. Pemerintah juga disarankan mendorong penerimaan pajak dan pendapatan non migas. Perkiraan S&P, defisit anggaran 2016 akan berada di 2,7 persen dari PDB.
Utang pemerintah juga diperkirakan menyentuh 25 persen dari PDB pada 2016 dan meningkat 27 persen pada 2019.
S&P juga menyoroti belum membaiknya kualitas kredit korporasi, karena masih tertekan dengan pelemahan harga komoditas. Hal itu menjadi salah satu yang menyebabkan rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan meningkat 2,8 persen per Maret 2016, padahal secara historis rata-rata NPL berada di 1,8 persen.
Eksplorasi | Aditya | Antara