Eksplorasi.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) di awal masa pemerintahannya pernah mengutarakan akan menggenjot elektrifikasi di sejumlah daerah di Tanah Air yang belum teraliri listrik.
Caranya, dengan merealisasikan megaproyek kelistrikan 35 ribu MW. Pro kontra pun bergulir. Proyek mercusuar kelistrikan tersebut oleh sejumlah pihak pun diragukan.
Pasalnya, target Jokowi hingga 2019 seluruh daerah di Indonesia bisa dialiri listrik bisa dibilang tidak masuk akal. Hambatan terbesar gagalnya megaproyek itu disinyalir karena kemampuan PT PLN (Persero) mengimplementasikan program tersebut diragukan.
Selama ini publik mahfum bahwa diperlukan waktu yang panjang bagi PLN untuk bisa meneken sebuah kontrak jual beli tenaga listrik.
Guna mempercepat realisasi program tersebut, Presiden Jokowi melalui anak buahnya di Kementerian ESDM, diterbitkanlah Peraturan Menteri ESDM No 3/2015.
Regulasi tersebut mengatur prosedur pembelian tenaga listrik dan harga patokan pembelian tenaga listrik dari sejumlah pembangkit, misalnya PLTU mulut tambang, PLTU batubara, PLTG, PLTMG, dan PLTA .
Melalui aturan itu, PLN bisa memilih dan menunjuk langsung kontraktor swasta (independent power producer/ IPP) untuk membangun sebuah pembangkit.
Pemilihan dan penunjukan IPP oleh perusahaan setrum pelat merah tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2014. PP tersebut merupakan perbaruan dari PP No 14/2012 tentang kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik.
Diharapkan dengan adanya terobosan tersebut maka proses pembelian tenaga listrik yang semula membutuhkan waktu lama dan panjang bisa dipangkas, namun tetap melalui proses yang transparan dan akuntabel.
Sekedar informasi, megaproyek kelistrikan 35 ribu MW terdiri atas 109 pembangkit listrik. Rinciannya, sebanyak 35 pembangkit dengan total kapasitas 10 ribu MW akan dibangun langsung oleh PLN, sedangkan sisanya sebanyak 74 proyek kelistrikan akan digarap IPP dengan kapasitas 25 ribu MW.
Perlu diketahui, semua daftar proyek yang ada di dalam 35 ribu MW masuk ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Hal itu diperkuat melalui Keputusan Menteri ESDM No 74K/21/MEM/2015. RUPTL kemudian dijadikan pedoman pengembangan sarana ketenagalistrikan nasional.
Menteri ESDM Ignasius Jonan pernah berkomentar, pihaknya akan selalu berupaya sekuat tenaga untuk mempercepat megaproyek tersebut.
“Melalui Permen ESDM No 3/2015 dan RUPTL, kami selalu mengawal PLN dalam mengimplementasikan megaproyek 35 ribu MW. Pemerintah akan selalu memberi kemudahan administrasi agar tidak menghambat kegiatan investasi,” jelas dia.
Dukungan Perbankan
PLN pun seperti mendapat angin surga. Adanya penugasan tersebut bisa membuat kinerja perseroan kinclong. Kondisi ini lantas membuat perbankan seakan berlomba memberikan fasilitas pinjaman bagi PLN.
Maklum saja, PLN memeroleh porsi yang cukup besar dalam megaproyek tersebut. Kemudian, sejatinya bisnis listrik merupakan bisnis yang cukup menggiurkan. Listrik telah menjadi kebutuhan utama mayoritas manusia yang ada di muka bumi ini.
Sejumlah perbankan BUMN dan swasta kemudian menawarkan fasilitas pinjaman ke PLN agar bisa dipergunakan sebagai kebutuhan pembiayaan perusahaan (corporate loan).
Para perbankan itu melihat, banyak proyek kelistrikan yang digarap PLN belum sepenuhnya bisa terealisasi, karena PLN mengalami kesulitan likuiditas. Misalnya saja beberapa proyek kelistrikan yang ada di dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) 2015.
Bahkan, akibat kondisi keuangan PLN yang ‘kurang sehat’ tersebut, sejumlah proyek yang ada di dalam RKAP 2015 yang belum terealisasi kembali diluncurkan dalam RKAP 2016 atau RKAP 2017.
Adapun bank BUMN dan swasta nasional serta lembaga keuangan yang telah menggelontorkan dananya ke PLN antara lain, PT BRI Tbk (Persero), PT Bank Mandiri Tbk (Persero), PT BNI Tbk (Persero), PT BCA Tbk, Indonesia Exim Bank, dan PT Sarana Multi Infrastruktur.
Mereka memberikan kucuran pinjaman hingga mencapai Rp 12 triliun dengan jangka waktu pinjaman (tenor) selama 10 tahun. Dana belasan triliun rupiah tersebut untuk mendanai investasi PLN di semua fungsi, mulai dari pembangkit, transmisi, distribusi, hingga fungsi pendukung.
Ragu Kemampuan PLN
Data yang dilansir Kementerian ESDM menyebutkan, hingga pertengahan Maret 2017, proyek kelistrikan yang telah memasuk tahap konstruksi yang dikerjakan PLN dan IPP baru mencapai 10.432 MW.
Ironisnya, baru 693 MW kapasitas pembangkit yang baru bisa beroperasi secara komersial (commercial operation date/ COD).
Sekedar informasi, dari 10 ribu MW kapasitas pembangkit yang dibebankan ke PLN, baru pembangkit dengan kapasitas 3.969 MW yang akan dibangun alias masuk tahap konstruksi.
Bahkan, hingga kini baru 600 MW kapasitas pembangkit di dalam megaproyek 35 ribu MW yang dibangun PLN yang masuk tahap COD.
Di satu sisi, dari pihak IPP, pembangkit yang masuk tahap konstruksi baru 6.463 MW dengan pembangkit yang telah COD hanya 39 MW.
Namun, Direktur Utama PLN Sofyan Basir beberapa waktu lalu pernah berkomentar bahwa pihaknya tetap optimistis bisa mencapai target yang telah ditetapkan pemerintah.
Versi dia, meskipun terjadi keterlambatan pembangunan, hal itu merupakan hal yang wajar. Pembelaan Sofyan, PLN telah merealisasikan pembangkit dengan kapasitas sekitar 19 ribu MW.
Dia juga mengklaim telah meneken perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/ PPA) sebesar 20 ribu MW guna memuluskan beban yang ditargetkan pemerintah kepada perseroan.
Di sisi lain, hingga 31 Desember 2016, PLN ternyata diketahui memiliki liabilitas alias utang yang harus dibayar mencapai Rp 393,78 triliun.
Penelusuran Eksplorasi.id berdasarkan data laporan keuangan perseroan, utang tersebut terdiri atas jangka panjang dan jangka pendek. Utang jangka panjang PLN tercatat sebesar Rp 272,16 triliun.
Rinciannya, utang pajak tangguhan Rp 59,73 miliar, penerusan pinjaman Rp 29,13 triliun, utang kepada pemerintah dan lembaga keuangan pemerintah non-bank Rp 7,26 triliun, dan utang sewa pembiayaan Rp 17,93 triliun.
Kemudian, utang bank Rp 100,36 triliun, utang obligasi dan sukuk ijarah Rp 68,82 triliun, utang listrik swasta Rp 7,32 triliun, utang pihak berelasi Rp 2,3 miliar, utang imbalan kerja Rp 41,11 triliun, serta utang lain-lain Rp 155,78 miliar.
Sementara untuk utang jangka pendek perseroan tercatat Rp 121,62 triliun. Rinciannya, utang pihak berelasi Rp 7,77 triliun, utang pihak ketiga Rp 22,42 triliun, dan utang pajak Rp 1,95 triliun.
Selanjutnya, biaya masih harus dibayar Rp 10,64 triliun, uang jaminan langganan Rp 12,05 triliun, utang biaya proyek Rp 384,74 miliar, dan pendapatan ditangguhkan Rp 1,15 triliun.
Berikutnya, penerusan pinjaman Rp 2,56 triliun, utang kepada pemerintah dan lembaga keuangan pemerintah non-bank Rp 1,04 triliun, dan utang sewa pembiayaan Rp 3,79 triliun.
Lainnya, utang bank Rp 26,39 triliun, utang obligasi dan sukuk ijarah Rp 9,57 triliun, utang listrik swasta Rp 328,68 miliar, utang imbalan kerja Rp 3,49 triliun, dan utang lain-lain Rp 18,07 triliun.
Parahnya, meskipun memiliki total liabilitas alias utang yang mesti dibayar mencapai Rp 393,78 triliun, namun perseroan memiliki jumlah anak usaha yang bejibun.
PLN memiliki saham entitas anak usaha, baik langsung maupun tidak langsung, pada 28 perusahaan. Jumlah saham yang dimiliki PLN di entitas anak usaha berkisar 72,97 persen hingga 100 persen.
Bancakan Mafia Migas
Anggota BPK Achsanul Qosasi mengatakan pernah berkomentar, PLN harus segera beralih dari penggunaan minyak ke gas.
Penegasan Achsanul, mekanisme penggunaan minyak, dalam hal ini solar yang digunakan untuk pembangkit, sangat rawan dan dikendalikan mafia.
“Bagi pembangkit yang sudah ada pasokan gas, segera gunakan untuk efisiensi. Tinggalkan minyak atau solar karena mekanisme yang rumit dan rentan mafia,” tegas dia di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut dia PLN saat ini harus efisien. Dirinya berharap inefisiensi yang terjadi beberapa waktu lalu segera dibenahi.
“PLN ada kesalahan manejemen lama. Ketika itu membangun dan memproduksi listrik berbasis solar. Itu tindakan yang tidak efisien,” jelas dia.
PLN pun, lanjut Achsanul, harus mengurangi pembangkit listrik yang saat ini masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan segera dialihkan ke batubara dan gas, kecuali di beberapa daerah yang memang kesulitan pasokan batubara dan gas.
“PLN diberi tangungg jawab menggarap proyek 35 ribu MW, jangan sampai proyek fast track program pertama (FTP-1) 10 ribu MW terulang kembali pada proyek 35 ribu MW,” ujar dia.
Dia mengungkapkan, pada FTP-1, saat ini hanya 48 persen yang berfungsi menyumbang kapasitas pasokan listrik. Ironisnya, BPK juga menemukan saat ini pembangkit-pembangkit solar rata-rata sudah rusak.
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan BPK-RI Nomor: 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tertanggal 16 September 2011, salah satunya menemukan inefisiensi dalam penggunaan bahan bakar untuk produksi listrik.
Ditemukan delapan pembangkit yang seharusnya dioperasikan menggunakan bahan bakar gas, tapi justru menggunakan bahan bakar minyak yakni high speed diesel (HSD) atau solar.
Misalnya,pembangkit Tambak Lorok pada 2009 inefisiensi Rp 2,71 triliun dan pada 2010 inefisiensi Rp 2,61 triliun, pembangkit Tanjung Priok inefisiensi Rp 5,08 triliun pada 2009, sedangkan pada 2010 inefisiensi Rp 6,23 triliun.
“Dari delapan pembangkit dalam laporan BPK tersebut, PLN kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp 17,9 triliun pada 2009 dan Rp 19,6 triliun pada 2010. Ini jangan sampai terulang, jangan ada lagi pembangkit PLN yang salah minum,” tegas Achsanul.
Ibarat Godot
Harapan pemerintah dan masyarakat kepada PLN untuk bisa merealisasikan megaproyek kelistrikan 35 ribu MW ibarat seperti sedang menunggu Godot.
Namun, pemerintah dan masyarakat tidak punya pilihan. PLN merupakan satu-satunya perusahaan, jika tidak ingin dibilang monopoli, yang sangat berkuasa atas sistem kelistrikan di Indonesia.
Godot adalah nama sebuah tokoh fiktif dalam karya sastrawan asal Irlandia Utara, Samuel Beckett (1906-1989). Terkenal dengan istilah Waiting for Godot (Menanti Sang Godot), naskah drama ini pertama kali di pentaskan di Paris, Prancis pada 1954 dan di angkat sebagai novel setelah pujangga wafat.
Kisah ‘Menanti Sang Godot’ ini adalah kisah yang menggambarkan harapan yang tidak kunjung berakhir. Drama ini mempunya tokoh sentral Vladimir, Estragon, Pozzo, dan Lucky.
Ketidakhadiran Godot menunjukkan kekuasaannya dalam hal Vladimir dan Estragon untuk terus menunggu Godot. Estragon dan Vladimir adalah teman seperjuangan. Sama seperti menunggu Godot, sama seperti tidak tahu harus berbuat apa.
Vladimir dan Estragon yang bertemu di sebuah pohon dan mengaku sedang menunggu seseorang yang bernama Godot. Namun ketidaktahuan mereka tentang siapa dan seperti apa sosok yang bernama Godot tidak membuat mereka mengurungkan niat mereka untuk tetap menunggu sosok yangdiceritakan bernama Godot itu.
Vladimir dan Estragon tampak sebagai orang yang dungu dan tidak punya patokan hidup yang jelas. Karena pada cerita digambarkan mereka mengisi hari-hari menunggu Godot dengan makan, tidur, bercengkrama, berdebat, bernyanyi, memainkan beberapa permainan, tukar-menukar topi, sampai pada percobaan bunuh diri.
Bila dicermati hampir tidak ada kegiatan berguna yang merekalakukan seperti bekerja ataupun beribadah. Kehidupan mereka dihabiskan percumahanya untuk menunggu seseorang bernama Godot.
Kegiatan ini terus berlanjut sampai mereka bertemu dengan dua orang bernama Pozzo dan budaknya, Lucky. Di sela-sela kegiatan menunggu ini pun mereka berdua pernah melakukan percobaan bunuh diri sebagai sebuah bentuk frustasi akan penantian seorang Godot yang tak kunjung datang. Namun percobaan bunuh diri itu pun tak pernah berhasil.
Singkat cerita, Godot akhirnya hanya menjadi sebuah nama yang tidak jelas siapa dan untuk apa ditunggu-tunggu. Kapan ia akan datang menjelang? Tidak jelas. Senasib dengan tokoh fiksi di atas, pemerintah dan masyarakat juga tengah menunggu Godot bernama PLN.
Reporter : HYN