Eksplorasi.id – Kepastian pemerintah merampungkan payung hukum hak pengelolaan Blok Mahakam untuk PT Pertamina minggu depan patut diapresiasi.
Dengan demikian, Pertamina bisa memulai investasi yang diperlukan untuk mengambil alih blok migas offshore yang kini dikelola Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation, pada 2018.
Hak pengelolaan Blok Mahakam diberikan oleh pemerintahan Orde Baru kepada Total untuk pertama kalinya pada 1967, lewat kontrak bagi hasil Blok Mahakam yang awalnya memiliki cadangan terbukti 1,68 miliar barel minyak dan 21,2 triliun kaki kubik (TCF) gas. Perusahaan raksasa Prancis ini kemudian diberi perpanjangan kontrak pada 1997 untuk jangka waktu 20 tahun, hingga 2017. SKK Migas memperkirakan, pada 2017, sisa cadangannya masih sebesar 131 juta barel minyak dan 3,8 TCF gas.
Untungnya, pada November 2014, pemerintahan baru pimpinan Presiden Joko Widodo langsung tegas memutuskan menunjuk Pertamina mengelola Blok Mahakam di Kalimantan Timur pascakontrak Total E&P Indonesie habis pada 2017. Jokowi memastikan tidak memperpanjang lagi kontrak kerja sama dengan perusahaan asing tersebut, meski sebelumnya mereka ngotot diperpanjang.
Setelah pemerintah meneken payung hukum hak pengelolaan Blok Mahakam untuk PT Pertamina minggu depan, BUMN migas Indonesia yang masuk Fortune 500 ini bisa mengucurkan dana US$ 1,5 miliar untuk pengelolaan Blok Mahakam mulai tahun depan. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telah merampungkan draf surat keputusan yang akan menjadi payung hukumnya.
Langkah pemerintah yang tegas menunjuk langsung perusahaan lokal, apalagi BUMN besar dan kredibel seperti Pertamina, mesti dilanjutkan ke depan. Tidak boleh lagi kekayaan alam kita yang luar biasa besar di sektor migas, pertambangan, maupun sektor lain hanya dikelola atau didominasi asing. Dominasi asing di pengelolaan sumber daya alam kita itu membuat keuntungan terbesar justru mengalir terus ke luar, sementara itu kita kebagian kerusakan lingkungan yang luar biasa besar. Penduduk sekitar pun masih tertinggal, tak banyak diberdayakan.
Yang paling penting, BUMN yang ditunjuk pemerintah tetap mengedepankan profesionalisme, sehingga dapat memberikan yang terbaik untuk republik ini. Pertamina misalnya, bisa menunjuk kontraktor terbaik dari Amerika atau negara mana saja yang bisa memberikan teknologi dan keahlian terbaik. Untuk pendanaan tentunya tak jadi masalah, justru bank-bank besar yang akan berebut untuk mendanainya sepanjang proyek menguntungkan.
Strategi BUMN sendiri yang ditunjuk sebagai leader untuk proyek-proyek besar dan strategis sudah lazim diterapkan di banyak negara, guna mengamankan dan mengoptimalkan kepentingan maupun keuntungan nasional. Pada proyek bendungan sekaligus pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terbesar di dunia, Three Gorges Dam, Pemerintah Tiongkok menunjuk perusahaan RRT menjadi leader, pemegang kontrak. Sedangkan subkontraktornya berasal dari 50-an negara. Selain untuk power plant, Three Gorges Dam digunakan untuk irigasi tanah-tanah pertanian, mengatasi banjir, dan transportasi.
Dengan menjadi pemegang kontrak proyek-proyek strategis, BUMN kita akan mendapatkan keuntungan yang terbesar dan memegang kendali. Ini tentu saja bukan berarti 100 persen dikerjakan sendiri, mengingat keahlian dan teknologi terbaik masih banyak dikuasai perusahaan-perusahaan asing. Sedangkan soal dananya bisa meminjam dari konsorsium internasional yang bisa memberikan pembiayaan terbaik, dengan tetap memberi ruang dan peran bagi perbankan dalam negeri secara profesional.
Dengan demikian, proyek-proyek besar bisa tetap berstandar dunia dan dikerjakan orang-orang yang benar-benar ahli. Sementara itu, biayanya dapat ditekan karena negara–lewat BUMN–dapat memilih penawaran yang paling baik dengan biaya paling murah, dari seluruh kontraktor kelas dunia. Dengan pemilik proyek BUMN sendiri, selain mendapatkan pajak dan royalti, negara juga mendapatkan keuntungan lebih besar dari dividen.
Proyek juga bisa dipastikan memberikan multiplier effect tinggi, seperti dilaksanakannya transfer teknologi, tenaga kerja lokal bisa mengisi semua posisi yang dibutuhkan, sekaligus meningkatkan penggunaan produk dan jasa dari dalam negeri.
Selain itu, hasil minyak dan gas misalnya, bisa sepenuhnya digunakan untuk kebutuhan energi di dalam negeri, terutama untuk industri kita yang sangat membutuhkan jaminan pasokan dan harga energi murah. Selain itu, hal ini berarti akan mengurangi ketergantungan impor, menghemat devisa kita, sekaligus memperbaiki neraca perdagangan.
Dengan pola semacam ini, pemerintah juga tak perlu ragu untuk menunjuk BUMN pertambangan kita mengambil alih tambang emas Grasberg di Papua pascaberakhirnya kontrak pengelolaan Freeport, pada 2021. Raksasa tambang Amerika Serikat itu berupaya minta diberi kepastian perpanjangan kontrak hingga tahun 2041, meski semestinya baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak tahun 2019, dua tahun sebelum kontrak sekarang berakhir.
Pasalnya, meski produksi tambang terbuka Grasberg sudah menurun, cadangan emas, perak, dan tembaga underground masih luar biasa banyak. Cadangan di Bumi Pertiwi itu diperkirakan tak akan habis hingga 2080.
Bayangkan, jika cadangan devisa emas Tiongkok “hanya” beberapa juta kg, dan bahkan cadangan Bank Indonesia (BI) cuma 100.000 kg, tambang yang selama puluhan tahun dikuasai Freeport itu cadangan emasnya mencapai 16 juta kg. Jika sebagian emas itu kita masukkan ke cadangan devisa BI, ini dipastikan membantu rupiah menguat signifikan.
Reporter: Bobby M.