Eksplorasi.id – PT Chevron Pacific Indonesia dan Chevron Indonesia Company melalui unit usahanya, Chevron Geothermal Indonesia Ltd dan Chevron Geothermal Salak Ltd diketahui akan melepas wilayah kerja (WK) dua panas bumi yang selama ini dioperasikannya.
Anggota Komisi VII DPR Inas Nasrullah Zubir mengungkapkan, PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) kemungkinan besar tidak bisa membeli dua aset panas bumi yang akan dilego Chevron tersebut.
“Alasannya sederhana, Chevron Geothermal Indonesia dan Chevron Geothermal Salak adalah perusahaan cangkang di Cayman Island dan Bahama, oleh karena itu dipastikan bahwa Chevron tidak bisa menyediakan laporan keuangan yang telah diaudit,” kata dia kepada Eksplorasi.id di Jakarta, Jumat (4/11).
Anggota dewan dari Fraksi Partai Hanura ini mengungkapkan, secara logika tidak akan ada perusahaan yang mau membeli perusahaan cangkang. Pasalnya, sebuah perusahaan cangkang tidak bisa menyediakan audit terkait laporan keuangan.
“Anehnya, Chevron Geothermal Indonesia dan Chevron Geothermal Salak itu sudah beroperasi lama di Indonesia tapi pemerintah tidak pernah menanyakan ke Chevron kenapa perusahaan itu dibentuk dengan pola cangkang,” tegas dia.
Inas menegaskan, tindakan Chevron dengan membentuk perusahaan cangkang tersebut bisa dikatakan kurang ajar, karena telah mengangkangi regulasi yang ada di Indonesia.
“Chevron kurang ajar pakai perusahaan cangkang, kenapa atau ada apa mereka membentuk perusahaan cangkang itu? Apa Chevron mau menghindari soal pajak? Jangan-jangan pemerintah Amerika Serikat juga tidak tahu apa yang dilakukan Chevron tersebut,” jelas dia.
Menurut Inas, jika diketahui perusahaan tersebut merupakan perusahaan cangkang, semestinya tidak akan ada perusahaan yang berminat untuk membeli perusahaan tersebut, apalagi BUMN seperti Pertamina dan PLN.
Dia menjelaskan, berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 196/Bl/2012 tentang Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan Penilaian Usaha di Pasar Modal, setiap perusahaan mesti menyediakan audit laporan keuangan jika perusahaan itu ingin dijual.
“Persoalan lainnya, berdasarkan hasil audit BPKP ditemukan ketidakakuratan perhitungan porsi pemerintah sesuai peraturan yang wajib disetorkan sebesar 34 persen dari net operating income di dua WKP yang saat ini dikelola Chevron tersebut,” katanya.
Selain itu, imbuh dia, Chevron juga tidak memiliki izin eksplorasi dan produksi di area hutan cagar alam yang berpotensi mengurangi kapasitas dan tambahan operating cost.
Di satu sisi, berdasarkan penelusuran Eksplorasi.id, biasanya sebuah perusahaan cangkang dibentuk untuk sejumlah alasan, seperti mempermudah transaksi di luar negeri, menghindari pungutan pajak yang tinggi, baik dari transaksi maupun pendirian badan usaha, menyembunyikan profil, serta alat untuk mencuci uang hasil kejahatan.
Sementara, beberapa waktu lalu publik pernah dihebohkan dengan isu Panama Papers terkait perusahaan cangkang. Sebanyak jutaan lembar dokumen berisi informasi sejak 1977 sampai awal 2015 yang bocor dari firma hukum Mossack Fonseca menggambarkan dunia tanpa pajak bekerja.
Mereka yang tercatat dalam dokumen Panama Papers pernah menyewa Mossack Fonseca untuk mendirikan perusahaan di yurisdiksi bebas pajak di luar negeri (offshore), seperti Panama atau British Virgin Island.
Reporter : HYN