Eksplorasi.id – Sejumlah kalangan mengingatkan agar Indonesia konsisten dengan janjinya untuk mengurangi emisi karbon seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada konferensi perubahan iklim di Paris, Prancis, November tahun lalu. Untuk itu, pemerintah diharapkan tidak menuruti desakan segelintir pihak yang ingin mencapai target pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) melalui proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
Pasalnya, penggunaan batu bara dinilai sangat polutif dan membahayakan kehidupan manusia antara lain karena bisa menaikkan suhu bumi. Contohnya, di India kenaikan suhunya sampai mencapai 51 derajad Celcius, sedangkan di Indonesia sekarang suhu sudah naik dua derajat Celcius. Bahkan, Amerika Serikat dan Eropa kini sudah menutup satu per satu PLTU batu bara. Oleh karena itu, akan sangat aneh dan merupakan satu kemunduran jika Indonesia malah melakukan kebijakan yang ditinggalkan negara lain termasuk Tiongkok.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Arif Fiyanto, mengungkapkan PLTU berbasis batu bara menghasilkan polusi udara yang mengeluarkan polutan berbahaya jenis merkuri dan arsenik. Belum lagi kerusakan bentang alam akibat perluasan tambang batubara pada konsesi tambang di berbagai wilayah Indonesia.
Lebih dari itu, lanjut dia, polusi akibat pembakaran batu bara bukan hanya dirasakan oleh rakyat Indonesia namun sudah menjadi perhatian utama dunia karena peningkatan suhu dunia yang mendorong perubahan iklim makin mengkhawatirkan. “Ancaman mematikan perubahan iklim kian nyata. Pemerintah harus membuat target yang lebih ambisius dan membangun proses transisi yang adil untuk segera beralih menuju energi bersih terbarukan,” katanya.
Sedangkan Ketua Pusat Studi Energi UGM Yogyakarta, Deendarlianto, mengatakan pilihan menggunakan PLTU batubara itu jawaban pragmatis. “Nah, sebagai pemerintah tentu harus menghitung holistik, termasuk strategi industrialisasinya, “ katanya.
Ia juga membenarkan PLTU berbahan baku batu bara sudah ditinggalkan di banyak negara maju. Sebab, polusi pembangkit batubara membahayakan kehidupan manusia.
“Dibandingkan dengan negara lain, pilihan Indonesia menggunakan batu bara sebagai bahan bakar PLTU memang aneh. Seharusnya, pemerintah lebih ke depan lagi, yakni memanfaatkan energi bersih dan terbarukan,” ujar Deendarlianto.
Sebelumnya, pengamat energi UGM, Fahmy Radhi, juga mengingatkan Presiden Jokowi yang sudah berkomitmen tinggi dalam energi terbarukan agar tidak dikecohkan oleh pendapat dan masukan yang timpang dan distortif yang dapat merugikan negara dan bangsa indonesia dalam jangka menengah dan panjang.
“Keuntungan jangka pendek selalu merugikan suatu bangsa, malah sering mematikan.” Menurut dia, informasi bahwa pemakaian batu bara lebih murah itu terdistorsi dan tidak komprehensif karena tidak menghitung akibat polusi di wilayah Indonesia. “Maka kalau ada usulan kembali ke batu bara itu bunuh diri. Investasi di bidang yang salah. Pada akhirnya merugikan dan berbahaya. Sudah dipertegas dalam Paris Accord dan pemerintah sendiri untuk ikut serta dalam pengurangan karbon,” tegas Fahmy.
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah sebaiknya lebih mempertimbangkan pengembangan tenaga listrik melalui energi terbarukan, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Apalagi, sumber daya surya di Indonesia sangat melimpah, ramah lingkungan serta berkelanjutan sepanjang tahun.
Arif Fiyanto menambahkan, Indonesia seharusnya tidak meniru model pembangunan Tiongkok dan India. Saat ini, dua negara tersebut tengah menghadapi tingkat polusi udara yang sangat parah dan berbahaya bagi kesehatan rakyatnya karena kebergantungan tinggi terhadap batu bara.
Ia mengungkapkan ancaman polusi akibat PLTU batubara sangat nyata. Partikulat-partikulat berbahaya yang berasal dari pembakaran batu bara dapat menyebar hingga radius 500-1.000 kilometer dari lokasi PLTU berada.
“Meski pada sebuah wilayah atau kota tidak terdapat PLTU batu bara, namun bahaya dari partikulat berbahaya ini akan tetap mengancam warga yang hidup di kota tersebut,” papar dia.
Eksplorasi | Aditya | antara