Eksplorasi.id – Pemerintah ingin mendorong percepatan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) tahun ini. Persoalannya, pembahasan revisi beleid tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih tahap perumusan draf rancangan undang-undang. Jika mendesak, pemerintah disarankan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (perpu).
Anggota Komisi VII DPR Kurtubi menilai, UU Migas yang berlaku saat ini telah menyebabkan investasi migas, khususnya di sektor hulu, mengalami penurunan karena prosedurnya berbelit-belit. Karena itulah, Komisi Energi DPR sedang memperbaiki UU itu sejak tahun lalu.
Namun, dia mengakui proses pembahasan revisi UU Migas berjalan lamban. Penyebabnya, ada banyak fraksi yang terlibat dalam proses pembahasan tersebut. Saat ini, proses revisi masih tahap sinkronisasi naskah akademik dari 10 fraksi di DPR. Jadi, tidak bisa mengharapkan pembahasannya rampung tahun ini.
“Jika memang darurat, pemerintah bisa mengeluarkan perpu, cabut UU Migas,” kata Kurtubi dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Sabtu lalu (20/8).
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Syamsir Abduh juga melihat perpu sebagai opsi untuk mengubah beleid migas. Menurut dia, Indonesia memiliki banyak perpu. Di sisi lain, penyusunan rancangan undang-undang kerap memakan waktu lama dan menimbulkan pertentangan.
Contohnya, penyusunan Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN). “Misalnya, industri ingin ditempatkan di selatan Jawa. Sementara itu, gas ingin di utara,” ujar Syamsir.
Sebelumnya, Pelaksana tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan berencana menjadikan revisi UU Migas sebagai inisiatif pemerintah agar bisa segera rampung. “Sudah tiga tahun (pembahasannya di DPR). Sekarang kami usulkan ke DPR, pemerintah yang inisiatif biar lebih cepat,” kata dia, Kamis (18/8) pekan lalu.
Untuk merealisasikan keinginan itu, Luhut akan bertemu dengan DPR pekan depan. Namun, aggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha menyatakan, Menteri Luhut tidak bisa meminta DPR mengubah RUU Migas menjadi inisiatif pemerintah. Yang bisa meminta itu adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai wakil pemerintah.
Di sisi lain, Kurtubi menjelaskan, sektor migas penuh risiko dan tidak bisa mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jadi, Indonesia membutuhkan investor untuk mengembangkan sektor hulu migas. Untuk menarik minat investor, ia melanjutkan, sistem harus dipermudah dan perusahaan asing semestinya berkontrak dengan perusahaan nasional.
Sebagai perbandingan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi negara, sebenarnya perusahaan nasional berhak membangun kilang liquefied natural gas (LNG) di Aceh dan Bontang, Kalimantan Timur. Meski penemu cadangan gas di sana adalah perusahaan asing.
Berdasarkan Pasal 33 dalam UU itu, gas yang berasal dari perut bumi merupakan milik negara. Kurtubi menjelaskan, praktik yang dilakukan PT Pertamina (Persero) dalam pembangunan kilang LNG di Arun dan Badak sudah tepat. “Tanpa APBN sepeser pun, tidak ada kecelakaan dan telah diakui dunia,” ujarnya.
Namun, pergantian UU Nomor 8 Tahun 1971 dengan UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 memicu masalah. Kontraktor diminta membangun kilang LNG, seperti kilang Tangguh milik BP di Papua.
Reporter: Bobby
Caption: Istimewa