Eksplorasi.id – Indonesian Resources Studies (IRESS) mengharapkan pembentukan UU Migas yang baru bisa mendorong dominasi penguasaan negara dalam pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas di dalam negeri.
“UU Migas yang baru tersebut harusnya berpihak pada kepentingan rakyat, caranya dengan mengembalikan kuasa pengelolaan migas pada negara,” kata Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara di Gedung DPR/MPR, Jakarta, ditulis Rabu (16/3).
UU Migas baru, kata dia, dimaksudkan untuk menggantikan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang menyebabkan pengelolaan sektor migas dalam kondisi sangat liberal dan menyebabkan ketahanan energi nasional sangat lemah.
“Untuk itu, jika ingin mengembalikan kedaulatan energi, maka yang harus diperbaiki adalah melalui perubahan UU Migas. Terutama dalam hal pengelolaan migas, yang harus di tangan BUMN, yaitu Pertamina sebagai representasi negara,” kata Marwan.
Dengan demikian, lanjut dia, tidak perlu lagi membentuk BUMN Khusus dengan merubah status SKK Migas menjadi badan usaha, pasalnya akan menyebabkan pengelolaan migas menjadi tidak efisien.
“Sebaliknya, sudah selayaknya peran dan fungsi kontraktual dan pengawasan yang dijalankan oleh SKK Migas, harus dihentikan dan beralih untuk dijalankan Pertamina san dalam pelaksanaan peran dan fungsi tersebut dapat dijalankan dengan membentuk satuan direktorat atau unit berupa PSC Managemen dibawah satu holding,” ujar dia.
Lebih lanjut dia mengatakan, UU yang baru tersebut harus mencerminkan semangat pasal 33 UU 1945 dengan memperhatikan aspek kekuasaan membuat kebijakan yang berada di tangan pemerintah, memberi Izin dilakukan Pertamina, Membuat peraturan yang dilakukan pemerintah dan DPR, pengelolaan yang dilakukan BUMN dan pengawasannya di tangan pemerintah dan DPR.
Dalam konteks penguasaan oleh negara, lanjut dia, RUU Migas harus menegaskan bahwa aset cadangan terbukti, seharusnya menjadi aset Pertamina. Karena dengan monetisasi aset yang dilakukan Pertamina, maka aset tersebut bisa dioptimalkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai konstitusi.
“Tidak seperti sekarang, malah asing yang begitu dominan dan menguasai, sedangkan Pertamina hanya sekitar 20 persen saja. Padahal di berbagai negara, national oil company (NOC) mereka yang dominan menguasai,” ucap Marwan.
Porsi penguasaan pengelolaan migas di beberapa negara, menurut Marwan, sangat signifikan seperti Brasil sebanyak 81 persen, Aljazair 78 persen, Norwegia 58 persen dan Malaysia 47 persen. Dia menegaskan, kondisi saat ini BUMN Indonesia tersegmentasi dibanding perusahaan negara negara lain, sehingga berdampak kecilnya kapasitas investasi.
Dari informasi yang dihimpun, wacana rencana pembentukan UU Migas baru, mengemuka sejak ditetapkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengajuan judicial review UU Migas No 22 Tahun 2001 pada Desember 2004.
Pada waktu itu MK menyatakan terdapat tiga pasal dalam UU Migas No 22/2001 yang bertentangan dengan UUD 1945. Dengan keputusan MK tersebut, Komisi VII DPR RI periode 2004-2009 telah menggagas pembentukan UU Migas baru, dan ditindaklanjuti dengan penyiapan draft RUU Migas sebagai inisiatif DPR RI pada tahun 2009.
Selanjutnya, pada November 2012, atas gugatan yang diajukan sejumlah ormas dan individu di bawah koordinasi PP Muhammadiyah, MK kembali menetapkan 14 pasal dalam UU Migas No 22/2001 bertentangan dengan konstitusi. Dalam putusannya, MK pun membubarkan BP Migas.
Ternyata RUU Migas yang telah disiapkan oleh DPR pada 2009 tersebut gagal dibahas oleh DPR periode 2009-2014. Bahkan adanya 17 pasal dalam UU Migas No.22/2001 yang bertentangan dengan konstitusi belum cukup bagi DPR RI 2009-2014 dan pemerintah untuk segera membentuk UU Migas baru.
Padahal, di samping 17 pasal yang inkonstitusional, penetapan UU Migas lama pun tidak lepas dari intervensi dan tekanan asing yang merugikan negara, sehingga pembentukan UU Migas baru perlu segera ditetapkan.
“Pihak asing telah memaksa dilakukannya ‘perubahan struktural’ yang merugikan dalam berbagai UU/peraturan, termasuk UU Migas. Hal ini terjadi saat kita menerima bantuan IMF dan World Bank guna mengatasi krisis moneter 1997/1998. Karena itu, sudah banyak kalangan menyadari bahwa UU Migas sangat mendesak untuk diganti,” ujar Marwan.
Eksplorasi | Antara | Ponco