Eksplorasi.id – Pemerintah per 6 April lalu resmi menetapkan harga gas industri untuk di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) maksimal USD 6 per MMBTU.
Hal itu termaktub di dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 8/2020 tentang Tata6 Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Harga gas tersebut berdasarkan ayat 2 pasal 3 regulasi tersebut diperuntukkan bagi tujuh golongan industri. Ketujuh golongan industri tersebut adalah pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Baca juga : Sah, harga gas industri USD 6 mulai berlaku
Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No 89 K/IO/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Setidaknya tercatat 197 perusahaan dari tujuh golongan industri yang berhak memeroleh harga gas maksimal di level USD 6 per MMBTU.
Baca juga : Enak sekali, 197 perusahaan nikmati harga gas industri USD 6
Sebelumnya, sejumlah pengamat energi dan ekonomi menentang keputusan pemerintah tersebut. Bahkan para pengamat tersebut beramai-ramai serentak seakan satu komando melakukan penolakan.
Presiden peroleh informasi salah
Ekonom senior Faisal Basri bilang, diturunkannya harga gas industri menjadi USD 6 per MMBTU oleh pemerintah tidak memiliki dasar yang jelas.
Sebut dia, turunnya harga gas tidak menjamin industri penerima gas itu tumbuh lebih kuat. Dia menambahkan, harga gas di Indonesia saat ini bervariasi, dan itu tergantung dari sumber dan lokasi.
“Adanya agregator, harga gas yang berbeda itu kemudian menjadi satu dan keluar menjadi harga yang bisa dijangkau konsumen. Dasarnya menurunkan harga gas itu apa? Hitung-hitungannya dari mana sehingga harga gas industri harus USD 6,” kata dia, pada 26 Februari 2020.
Bahkan, Faisal berani secara lantang menyebut bahwa presiden mendapatkan informasi yang salah soal harga gas ini.
“Saat ini tidak ada harga gas yang ideal, sebab sumber yang di dapat berbeda-beda. Sehingga dibutuhkan agregator gas. Selain itu, jika harga gas turun belum tentu berdampak pada pertumbuhan ekonomi,” tegas dia.
PGN terus merugi
Baru-baru ini, pengamat energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, keputusan pemerintah memangkas harga gas industri bakal menyurutkan perluasan pemanfaatan gas bumi.
“Kebijakan harga gas yang jauh dari tingkat keekonomian proyek akan membuat pembangunan infrastruktur gas bumi semakin sulit. Jika harga gas diatur sedemikian rendah dan tidak memberi ruang bagi perusahaan niaga untuk mendapatkan keuntungan yang layak, jangan berharap terlalu banyak terhadap optimalisasi gas bumi,” kata dia, 15 April 2020.
Penjelasan Komaidi, dengan biaya dan risiko yang besar, perusahaan niaga tentu akan membatasi ekspansi pembangunan infrastruktur gas bumi.
Dia berkomentar, gas bumi Indonesia memiliki karakteristik dimana sumber gas sebagian besar berada di wilayah Indonesia Bagian Timur.
Sementara, lanjut Komaidi, konsumsi gas terbesar berada di Indonesia Bagian Barat. Situasi inilah yang menyebabkan infrastruktur menjadi kunci dalam mengoptimalkan sumber daya alam nasional untuk kepentingan domestik.
“Besarnya cadangan gas bumi yang saat ini ada di Indonesia tidak akan berarti tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Harusnya pemerintah fokus membangun infrastruktur ini jika tidak ingin terbebani impor BBM yang semakin besar,” terang dia.
Sejatinya, imbuh dia, pemerintah telah menetapkan sejumlah target-target kinerja jangka panjang terkait optimalisasi gas bumi.
Contohnya, dalam rencana Induk Infrastruktur Gas Bumi Indonesia 2016-2030 Kementerian ESDM menargetkan pipa open acces bertambah menjadi 9.992 km atau bertambah 5.695 km dibandingkan 2016.
Kemudian, pipa hilir ditargetkan bertambah 1.140,70 km menjadi 6.301 km. Sehingga total panjang pipa gas bumi di Indonesia mencapai 16.364 km dari posisi 2016 sepanjang 9.528,18 km.
Namun, Komaidi menilai pemerintah akan sulit mewujudkan target ambisius itu. Apalagi harga gas bumi yang diputuskan pemerintah menjadikan energi ini semakin tidak menarik sebagai instrumen investasi.
“Mengandalkan pengembangan infrastruktur gas bumi kepada PT PGN Tbk juga berat. Kemampuan PGN untuk membangun infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir terus menurun. Terbukti net profit margin PGN selama periode 2015-2019 turun rata-rata 40 persen setahun,” ujar dia.
Penekanan Komaidi, PGN yang didukung pemerintah saja makin kedodoran untuk membangun infrastruktur. Hal itu semakin diperparah dengan harga gas yang semakin tidak menarik.
“Siapa yang mau bangun infrastruktur gas bumi. Tidak ada pebisnis yang mau rugi, apalagi investor. Kebijakan pemerintah yang seringkali berubah dan politis, ketahanan energi nasional menjadi taruhan,” ungkap dia.
Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa pernah mengungkapkan, berdasarkan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional (RIJTDGBN) 2012-2025 yang tertuang dalam Kepmen ESDM No 2700 K/11/MEM/2012, terdapat 18 jalur pengembangan pipa gas bumi.
Presiden diminta membatalkan
Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, bahkan berani bilang presiden harus membatalkan keputusan tersebut. Alasannya, keputusan tersebut dinilai lebih besar biaya (cost) daripada keuntungan.
“Pemerintah gebabah memaksakan penetapan harga gas USD 6 per MMBTU untuk seluruh industri. Seharusnya keputusan itu dibatalkan saja,” kata dia, 18 Maret 2020.
Penjelasan Fahmy, kerugiaan yang timbul harus ditanggung pemerintah, sektor hulu, dan sektor hilir. Dia merinci, biaya yang ditanggung pemerintah adalah melepas pendapatan pemerintah dari sektor hulu sebesar USD 2,2 per MMBTU. Kondisi itu akan menurunkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam jumlah yang besar.
“Penurunan PNBP juga akan menurunkan pendapatan pemerintah daerah dari pendapatan bagi hasil, yangg besarannya diperhitungkan berdasarkan PNBP. Sementara biaya yang ditanggung sektor hulu adalah pemangkasan harga jual,” terang dia.
Kondisi itu, jelas Fahmy, akan menjadi potential lost sehingga mengurangi margin yang sudah ditargetkan pada saat penyusunan rencana pengembangan (plan of development/POD) saat awal investasi di hulu migas.
“Dampak pemangkasan harga jual juga akan menjadikan investasi di sektor hulu migas menjadi tidak kondusif lagi. Biaya yang ditanggung di sektor hilir adalah penurunan biaya transmisi dan biaya distribusi serta biaya pemeliharaan,” ucap dia.
Keterangan Fahmy, di hilir berpotensi menjadikan PGN tidak hanya merugi, tetapi juga menghambat PGN dalam pembangunan pipa yang masih dibutuhkan untuk menyalurkan gas bumi dari hulu ke hilir.
“Benefit dari penetapan harga USD 6 per MMBTU belum tentu menaikkan daya saing industri, karena ada beberapa variabel biaya lain, termasuk pajak masih membebani industri, selain efisiensi dan produktivitas industri masih tergolong rendah,” kata dia.
Kemudian, ucap dia, alasan bahwa penurunan harga gas untuk PLN akan mengurangi kompensasi dan subsidi listrik merupakan argumentasi yang tidak mendasar. Sebab, proporsi gas dalam bauran energi pembangkit listrik hanya 15 persen, sedangkan proporsi terbesar masih didominasi oleh batubara sebesar 57 persen.
Dia memberi contoh, pada saat pemerintah menetapkan DMO harga batubara USD 70 per metrik ton saat harga batubara dunia mencapai USD 100 per metrik ton, juga tidak menurunkan kompensasi dan subsidi listrik.
Negara tidak adil
Kholid Syeirazi, pengamat dari Center For Energy Policy, bilang bahwa sebenarnya negara tidak adil jika harus menyubsidi cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak.
“Penetapan harga atas tiga kategori industri yang menjadikan gas sebagai bahan baku (feed stock) yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical bisa dimengerti. Namun, untuk empat industri lainnya, gas bumi bukan merupakan bahan baku, tetapi burner yang bisa di substitusi dengan BBM,” jelas dia.
Kholid pun meminta pemerintah untuk tidak terus menerus memanjakan industri dengan memberikan insentif dan subsidi tanpa menghitung efek bergandanya bagi perekonomian.
Reporter : Ton