Eksplorasi.id – Skema bagi hasil Blok East Natuna antara pemerintah dan kontraktor belum menemui kata sepakat. Meskipun sudah melalui pembahasan cukup panjang dan penawaran berbagai insentif.
“Penandatanganan kontrak bagi produksi (production sharing contract/ PSC) tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat karena pembahasan terkait skema bagi hasil belum disepakati,” kata Plt. Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan.
Menurut Luhut, masih terdapat masalah teknis yang memerlukan pembahasan lebih lanjut. Selain itu, kontraktor dan pemerintah belum menyepakati kontrak bagi hasil. Bagi hasil dinamis pun, katanya, akan diterapkan. Blok East Natuna akan digarap oleh konsorsium ExxonMobil,
PTT EP Thailand dan PT Pertamina (Persero) sebagai pimpinan konsorsium belum menyepakati bagi hasil. Sebelumnya, pemerintah menargetkan skema bagi hasil Blok East Natuna akan ditandatangani pada bulan lalu dengan model khusus.
Pemerintah pun telah menyusun draf kontrak yang diharapkan bisa membuat proyek blok itu mencapai skala ekonomi. Pemerintah menawarkan bagi hasil 60:40, yakni 60% bagi pemerintah dan 40% kontraktor. Untuk pengembangan gas, pemerintah menawarkan bagi hasil 55:45 yakni 55% pemerintah dan 45% kontraktor.
Namun, ternyata tawaran tersebut belum direspons oleh konsorsium. Sejak ditemukan cadangan pada tahun 1970-an, opsi bagi hasil negara 0% pernah diajukan. Artinya, hasil produksi dikuasai kontraktor dan pemerintah hanya dapat mengutip pajak yang timbul atas kegiatan tersebut karena faktor kesulitan pengembangan.
Pada 1995, kontrak bagi produksi atas Natuna D-Alpha ditandatangani oleh konsorsium yang terdiri dari Pertamina dan ExxonMobil. Namun, hingga kontraknya berakhir pada 2005 dan penandatanganan kontrak baru dilakukan pada 2011, aktivitas masih belum terlihat di sekitar perairan Natuna.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, Blok East Natuna menyimpan potensi gas 222 triliun kaki kubik (tcf), sedangkan yang dapat diproduksi hanya 46 tcf. Pasalnya, komposisi gas terdiri dari 72% karbondioksida.
Jika pemerintah memberikan insentif sehingga Blok East Natuna menjadi ekonomis, produksi pertama gas dari blok itu butuh waktu 7—10 tahun. “Natuna ternyata ada sedikit masih putus, tetapi dalam satu bulan ke depan akan selesai. Ada masalah teknis yang tadi mereka masih bicarakan, masalah bagi-bagi kuenya,” ujar Menteri Luhut, Rabu (5/10).
“Dari beberapa opsi model kontrak, telah disepakati bahwa akan digunakan satu model kontrak saja untuk mengembangkan minyak dan gas East Natuna. Menurutnya, kontrak yang digunakan bukanlah model kontrak khusus,” jelas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja
Pertimbangan penggunaan model kontrak itu mengacu pada beberapa hal. Bila menggunakan skema bagi hasil khusus, aspek legal masih belum menjamin adanya percepatan kegiatan pengembangan minyak blok tersebut karena dikhawatirkan biaya operasi tak bisa dikembalikan melalui skema cost recovery.
Untuk model kontrak dua bagi hasil, kegiatan pengembangan minyak kurang ekonomis dan juga dikhawatirkan mengganggu struktur gas karena membutuhkan ruang untuk melakukan injeksi karbondioksida. Model kontrak yang memungkinkan yakni penggunaan model kontrak umum yang digunakan pada wilayah kerja lain karena jelas secara legal dan masih memungkinkan adanya percepatan kegiatan.
Pengembangan gas masih menanti kajian teknologi dan pasar yang selesai pada 2017. Dengan penerapan kontrak tersebut, dia berharap paling tidak pada tahun depan kegiatan seperti survei seismik terhadap struktur minyak bisa dilakukan. “Kami harap tahun depan sudah ada aktivitas di sana, ada seismik,” ujarnya.
Sementara itu, Chief Economist BP Spencer Dale mengatakan, pada 5—10 tahun ke depan perubahan penggunaan energi terus berlanjut. Saat ini, perubahan terjadi dari batu bara bergeser ke gas. Namun, tak menutup kemungkinan gas akan mengganti keberadaan minyak.
“Hingga 2025, terdapat banyak proyek kilang gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) yang beroperasi. Proyek tersebut sebagian besar berlokasi di Australia dan satu di Indonesia yakni Tangguh Train III,” lanjut Dale.
Dia menilai proyeksi harga gas tak bisa dijadikan pertimbangan tunggal pengembangan proyek gas. Dia menganggap bila harus menanti harga kembali naik, pengembangan gas terlambat. “Bila Anda menanti harga sampai naik, kemudian Anda akan terlalu terlambat,” pungkasnya.
Reporter: Ponco