Eksplorasi.id – PT Pertamina (Persero) pada akhir 2018, berdasarkan laporan keuangan perseroan, memiliki total utang yang mesti dibayar (liabilitas) hingga mencapai USD 35,11 miliar atau sekitar Rp 491,54 triliun (kurs Rp 14.000).
Rinciannya terdiri atas utang jangka pendek USD 13,97 (Rp 195,58 triliun) dan utang jangka panjang USD 21,14 juta (Rp 295,96 triliun). Jumlah utang tersebut naik 15,39 persen dibandingkan 2017 yang sebesar USD 30,43 miliar (Rp 426 triliun).
Utang jangka pendek perseroan naik 42,04 persen dibanding 2017 sebesar USD 9,84 miliar (Rp 137,76 triliun). Kenaikan utang disebabkan oleh kenaikan pinjaman jangka pendek, utang pajak, utang pemerintah dan beban akrual.
Sedangkan utang jangka panjang Pertamina tahun lalu naik 2,65 persen dibanding 2017 sebesar USD 20,59 miliar (Rp 288,26 triliun). Hal ini terutama disebabkan oleh kenaikan utang pajak tangguhan dan utang obligasi.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam catatan direksi di laporan keuangan mengatakan, laba usaha yang dibukukan Pertamina pada 2018 terkoreksi menjadi USD 6,25 miliar (Rp 87,5 triliun) dan laba tahun berjalan juga terkoreksi menjadi USD 2,64 miliar (Rp 36,96 triliun).
“Pertumbuhan beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya yang pada 2018 meningkat 29,47 persen dibandingkan 2017 menjadi USD 48,71 miliar,” tulis Nicke dalam laporan keuangan perseroan yang telah dipublikasikan, beberapa waktu lalu.
Peningkatan beban pokok produksi dan beban langsung lainnya tersebut utamanya disebabkan meningkatnya harga minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD sepanjang 2018.
Sementara itu, hingga akhir tahun lalu, Pertamina ‘hanya’ mampu meraup laba sebelum pajak penghasilan sebesar USD 5,73 miliar (Rp 80 triliun).
Di satu sisi, perseroan pun hanya bisa memeroleh jumlah laba tahun berjalan sebelum efek penyesuaian laba merging entities yang dapat didistribusikan sebesesar USD 2,64 miliar (Rp 36,9 triliun). Laba tersebut bisa didistribukan kepada pemilik entitas induk dan kepentingan non-pengendali.
Sisi lain, Pertamina mencatatkan hingga 31 Desember 2018 mencatatkan total aset sebesar USD 64,72 miliar (Rp 906,1 triliun), terdiri atas aset lancar USD 23,15 miliar (Rp 324,1 triliun) dan aset tidak lancar USD 41,56 miliar (Rp 581,84 triliun).
Reporter: Sam.