Eksplorasi.id – Penerapan rezim gross split dalam kontrak migas yang diwacanakan oleh Kementerian ESDM, ternyata sudah diprediksi sejak lama oleh segelintir kalangan.
Madjeni Hasan, dalam bukunya yang berjudul Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum, diterbitkan pada 2009, pada halaman 304 pernah coba mengupas hal tersebut.
“Pada saat ini berkembang wacana di kalangan industri migas di Tanah Air untuk mengganti pola bagi hasil menjadi yang lebih sederhana, yaitu melalui sistem perizinan dengan pembayaran royalti dan pajak,” tulis Madjeni.
Dia menulis, sistem ini sebenarnya sudah dilaksanakan dalam bidang pertambangan batubara, timah, dan bahan-bahan mulia yang pada masa Indische Mijnwet dan undang-undang yang menggantikannya dikategorikan sebagai bahan galian vital dan strategis yang penambangannya hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.
Berdasarkan peraturan perundangan, penambangan bahan galian tersebut dapat dilaksanakan dengan sistem kontrak karya (KK) dan perizinan (license/ permit). Sistem perizinan ini telah banyak digunakan oleh banyak negara, termasuk negara maju dan berkembang.
Secara substantif banyak kemiripan sistem perizinan ini dengan sistem sewa migas (oil and gas leases) melalui perjanjian konsesi yang diterapkan di Amerika Serikat atau di negara-negara yang mengakui negara memiliki kekayaan alam, sementara dalam negara-negara yang mengakui hak menguasai dari negara digunakan sistem perizinan.
Perbedaan yang ada dari kedua sistem tersebut adalah bahwa dalam sistem perizinan jangka waktu lebih pendek, wilayah kerja lebih sempit, kepemilikan tidak lagi pada cadangan tetapi pada produk yang dihasilkan, dan adanya komitmen rencana kerja minimum dan hak pemerintah untuk berpartisipasi dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
“Meskipun sistem perizinan untuk usaha-usaha pertambangan sumber daya vital/ strategis telah diberlakukan di Indonesia (antara lain batubara), penerapan sistem perizinan ini untuk kegiatan usaha hulu migas di Indonesia masih memerlukan kajian yang mendalam,” terang buku tersebut.
Penerapan sistem perizinan dalam eksplorasi dan eksploitasi migas memerlukan perangkat peraturan perundang-undangan penunjang yang lengkap serta administrasi negara dan sistem peradilan yang independen, tidak memihak dan bersih.
Kajian ini dilakukan dengan mengambil pengalaman dalam pengelolaan pertambangan batubara yang menerapkan dua sistem, yaitu berdasarkan kontrak karya dan sistem perizinan, yang terakhir meliputi masalah-masalah yang muncul setelah diberikannya kewenangan daerah untuk mengeluarkan izin pertambangan.
Masih dikutip dari buku tersebut, seperti dikatakan Thomas Waelde, seorang professor sektor energi tersohor di dunia, pemilihan jenis kontrak adalah masalah tradisi hukum dan hal yang harus didahulukan (predence) dan sebagai upaya untuk mengawinkan logika dari investasi dengan kehadiran politik (political appearance).
Perkawinan antara simbol politik dan logika komersial telah menjadikan kontrak bagi hasil (PSC) dapat diterima di negara-negara berkembang. Dipandang dari perspektif investor, sistem kontrak masih lebih menarik dari pada sistem perizinan langsung tanpa kontrak.
“Keberhasilan kontrak bagi hasil menarik investor dalam masa lalu terletak pada keberhasilan mengakomodasikan kepentingan politik pemerintah dan kepentingan bisnis investor dalam suatu kemitraan,” terang buku tersebut.
Buku tersebut juga menjelaskan, untuk menjamin kepentingan bisnis investor diperlukan kepastian hukum, dan ini akan lebih mudah tercapai melalui sistem kontrak dari pada perizinan.
Reporter : HYN