Eksplorasi.id – SKK Migas memasuki 2020 hingga akhir pekan lalu belum juga merilis secara resmi hasil lifting migas nasional 2019.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, selama ini SKK Migas lazimnya paling lambat setiap 2 Januari secara resmi telah mengeluarkan rilisnya.
“Maka bisa jadi ditunda rilis kepublik saat ini disebabkan lifiting migas jauh dari target APBN 2019, yaitu dua juta barel setara minyak per hari (bopd), yaitu terdiri dari lifting minyak 775 ribu bopd dan gas 7.000 juta kaki kubik per hari (mmscfd),” kata Yusri dalam rilisnya.
Dia mengungkapkan, berdasarkan bocoran yang ada, ternyata lifiting migas pada akhir Desember 2019 hanya mencapai 88,63 persen dari target APBN.
Rinciannya, lifting minyak 735,219 bopd dan gas 5934 mmscfd. Artinya, kinerja SKK Migas sangat patut dipertanyakan kemampuannya.
Penjelasan Yusri, Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani sebelumnya harus turun ke Dumai, Riau pada 28 Desember 2019 untuk memastikan lifting migas nasional bisa mencapai target pada akhir 2019.
“Faktanya, imbuh dia, bisa jadi kegiatan itu sia-sia alias buang uang negara saja. Padahal, SKK Migas sekarang punya sistem digital yang bisa memonitor dari hari ke hari operasi seluruh lapangan KKKS secara real time Integrated Operation Center,” jelas dia.
Yusri menambahkan, kerja bawah permukaan tidak bisa diselesaikan dengan tinjauan menjelang keperluan, tetapi merupakan hasil kerja serius terkonsepsi sejak dua hingga tiga tahun sebelumnya.
Dia mengingatkan, konsumsi BBM nasional saat ini sudah mencapai 1,4 juta barel per hari (bph) hingga 1,5 juta bph. Saat yang bersamaan ancaman penurunan produksi secara alamiah (decline) terjadi di lapangan yang sudah tua.
“Sudah dapat dipastikan pada 2020 impor minyak mentah dan BBM akan semakin besar, tentu berakibat bisa semakin meningkatkan defisi transaksi berjalan dalam necara keuangan negara pada 2020 dan tahun berikutnya,” ujar dia.
Yusri juga mencermati adanya program B30 yang mulai beroperasi mulai 1 Januari 2020 yang diklaim bisa menghemat sampai Rp 112 triliun setiap tahunnya.
“Klaim itu patut dipertanyakan kebenarannya. Dari mana dasar perhitungannya? Karena sejak program B20 berjalan, malah menurut keterangan mantan Direktur Keuangan Pertamina Pahala N Masury pada 27 Agustus 2019, Pertamina sudah kelebihan produksi solar sejak Mei 2019,” ungkap dia.
Bahkan, terang Yusri, kelebihan produksi solarnya diupayakan untuk di ekspor. Kalaupun benar keterangan direksi Pertamina itu benar, katanya, maka pertanyaan berikutnya adalah dengan kualitas rendah solar kilang Pertamina maka negara mana yang mau membelinya?.
“Kalaupun terjual tentu dengan harga jauh di bawah harga pasar, lagi-lagi jual rugi. Selain itu konsumsi biodiesel B20 atau B30 hanya sekitar 15 persen dari total konsumsi BBM nasional setiap harinya, sehingga tidak memengaruhi banyak untuk menekan defisit transaksi berjalan, kerena Pertamina juga kelebihan produksi solarnya,” terang dia.
Pendapat Yusri, dari sejumlah fakta di atas, seharusnya pemerintah lebih fokus memperbaiki kinerja sektor hulu, yaitu membenahi sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Migas KESDM dan SKK Migas sebagai ujung tombak maju mundur kinerja di sektor hulu.
“Pemerintah jangan hanya sibuk membicarakan kenapa kilang minyak belum terbangun sampai sekarang, sampai dituding ada mafia di belakangnya yang suka impor terus,” jelas dia.
Di sisi lain, lanjut Yusri, proyek RDMP (Refinery Develoment Masterplan Project) lima kilang Pertamina dan membangun kilang baru (Grass Root Refinery) berhasil bisa dibangun dengan kapasitas 1,5 juta bopd akan menimbulkan pertanyaan baru.
Hal itu terkait kemampuan produksi minyak nasional yang semakin mengkawatirkan, yaitu perolehan minyak bagian negara dan Pertamina hanya sekitar 550 ribu bopd dari total produksi nasional. Maka untuk menambal defisitnya dengan terpaksa harus melakukan impor juga.
“Ungkap optimistis sejumlah pejabat SKK Migas sangat menyesatkan, terutama soal target produksi satu juta bph pada 2022.
Diduga, komentar Yusri, janji itu terkesan hanya memberi angin surga kepada presiden, atau dengan kata lain mereka melakukan pembohongan publik.
“Keraguan di atas berdasarkan lima tahun terakhir ini belum ada satu pun kegiatan ekplorasi yang dilakukan oleh KKKS berhasil menemukan cadangan yang cukul besar, minimal cadangan seperti dilapangan Banyu Urip di Blok Cepu. Apalagi sejak diberlakukan konsep gross split untuk menganti konsep cost recovery,” katanya.