Eksplorasi.id – Revisi UU Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang berkepanjangan tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga berdampak pada keengganan para pelaku di industri hulu migas untuk melakukan penemuan-penemuan cadangan baru (eksplorasi).
Padahal, Kementerian ESDM tahun ini menargetkan investasi di sektor migas mencapai USD 17,04 miliar. Angka itu terdiri atas investasi di sektor hulu migas sebesar USD 14,44 miliar dan sektor hilir USD 2,59 miliar.
Kondisi ini semakin diperparah dengan rendahnya harga minyak mentah dunia yang terjadi sejak pertengahan 2014 yang membuat kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas harus melakukan efisiensi, termasuk salah satunya mengurangi belanja investasi..
“Investasi sektor migas trennya menurun dalam beberapa waktu terakhir, terutama di sektor hulu migas. Hal itu tak lepas dari turunnya harga minyak dunia yang sempat berada di bawah USD 40 per barel,” kata Sekretaris Ditjend Migas Kementerian ESDM Susyanto dalam media briefing bertajuk RUU Migas: Masa Depan Migas Indonesia yang Lebih Baik di Jakarta, Rabu (28/2).
Dia menjelaskan, kondisi itu membuat volume produksi migas nasional yang siap dijual (lifting) terus menurun, karena kemampuan produksi KKKS migas pun semakin terbatas.
Sebaliknya, laju konsumsi bahan bakar minyak dan gas nasional terus naik seiring dengan pertumbuhan populasi kendaraan bermotor, maupun bertambahnya konsumen bahan bakar gas di sektor industri pembangkit listrik dan rumah tangga.
Laju konsumsi terhadap produksi migas juga menjadi tidak seimbang dan mengakibatkan ancaman terhadap ketahanan energi nasional serta menahan pertumbuhan ekonomi bagi sektor-sektor penunjang lainnya.
Menyikapi hal tersebut, lanjut dia, Kementerian ESDM terus berupaya mengeluarkan regulasi yang bisa menggairahkan investasi di sektor migas. Misalnya di awal Februari 2018, Kementerian ESDM telah mencabut 32 peraturan di sektor ESDM. Dari jumlah tersebut, 11 di antaranya merupakan peraturan di subsektor migas dan 3 peraturan terkait SKK Migas.
“Ini sebagai bagian dari pembenahan regulasi untuk memangkas mata rantai birokrasi maupun menyesuaikan regulasi dengan dinamika yang kini terjadi di sektor migas nasional dan global,” ujar Susyanto.
Sementara itu, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Hernanto Soemarno memperingatkan minimnya investasi dan penurunan volume produksi migas nasional ini bisa membuat Indonesia terjebak dalam krisis energi berkelanjutan.
“Ini sudah masuk kategori darurat investasi, terutama di sektor migas. Kita sudah jadi net importir minyak sejak 2003. Pertumbuhan konsumsi gas dalam negeri pun terus naik dengan rata-rata pertumbuhan sembilan persen per tahun. Bila kondsi investasi tidak beranjak naik dan penemuan cadangan migas tidak bertambah, pada 2024 kita bisa jadi net importir migas,” ungkap dia.
Untuk itu, revisi UU Migas sangat penting untuk memperbaiki iklim investasi migas di Indonesia yang akan memberi dampak positif terhadap peningkatan kegiatan eksplorasi dan eksplotasi wilayah kerja migas.
“Semua pihak harus sensitif dengan kondisi ini, harus ada sense of urgency dan sense of crisis. Kalau tidak ada kepastian hukum, aturan yang berlaku tidak dapat menjawab tantangan-tantangan baru, tentu investor tidak mau melakukan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru di Indonesia,” tegas Ari.
Padahal, imbuh Ari, industri hulu migas nasional sedikitnya membutuhkan investasi sekitar USD 25 miliar dan sekitar USD 45 miliar per tahun. Bila hal itu terealisasi, dampak selanjutnya bakal meluas lantaran sektor hulu migas memiliki efek berganda bagi pertumbuhan perekonomian nasional, mulai dari pemanfaatan produk lokal hingga transaksi melalui perbankan nasional.
“Revisi UU Migas juga akan mendorong iklim kondusif yang akan membuat posisi Indonesia di level global menjadi lebih kompetitif sehingga pada akhirnya mampu menarik minat investasi baru maupun peningkatan investasi yang sudah ada dari pelaku industri hulu migas,” kata Ari.
Utang DPR
Revisi UU Migas juga sepatutnya diarahkan pada upaya pembenahan tata kelola migas sebagai akar masalah turunnya investasi dan produksi migas nasional belakangan ini.
Sebagai payung hukum bagi semua regulasi dan kebijakan sektor yang ada ada, RUU Migas yang baru harus dapat memfasilitasi adanya kepastian hukum.
Diperlukan juga penghormatan terhadap kontrak-kontrak yang sudah ada. Kelembagaan pengelola migas beserta pola koordinasi antarinstansi termasuk peran pemerintah daerah perlu dibenahi.
Kemudian, kebijakan fiskal industri migas yang lex specialist, serta adanya fleksibilitas terhadap perubahan-perubahan yang diperlukan oleh industri migas.
Namun sayang berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi migas saat ini seolah belum berimbas pada peningkatan investasi dan kinerja sektor hulu migas itu sendiri.
“Secara umum memang sudah ada perbaikan iklim usaha di Indonesia. Hal ini tercermin dari peringkat kemudahan berusaha Indonesia (Ease of Doing Business) 2018 yang mengalami kenaikan,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha.
Misalnya pada 2018, Indonesia berada pada posisi 72 dari 190 negara. Posisi itu naik dari sebelumnya yaitu peringkat 91 pada 2017 dan 106 pada 2016.
Namun, hal itu tidak tercermin di sektor hulu migas. Bahkan seolah bertolak belakang dengan perbaikan peringkat tersebut.
Bila merujuk pada survei dari Fraser Institute di pertengahan 2017, iklim investasi migas di Indonesia ternyata masih kalah menarik dibanding banyak negara lain di dunia.
Penilaian ini mengelompokkan Indonesia ke dalam 10 negara dengan tingkat iklim investasi terburuk bersama Venezuela, Bolivia, Libya, Irak, Ekuador, Kamboja, Prancis dan Yaman. Begitu juga bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia tetap terpuruk di posisi buncit.
Data itu, imbuh Satya, harus menjadi alarm bagi Indonesia untuk segera berbenah. Menurutnya, upaya perbaikan daya saing investasi di sektor hulu migas harus muncul dari dua sisi yakni dari sisi regulasi dan industri.
“Daya saing itu harus muncul dari pemerintah dan dunia usaha. Pemerintah memperbaiki berbagai regulasi sementara dunia usaha melakukan pembenahan kinerja sehingga operasional perusahaan semakin efisien,” kata dia.
Regulasi yang jelas akan memberi kepastian hukum yang akan menjamin terciptanya stabilitas bisnis dan investasi. UU Migas sebagai payung hukum akan memberi kepastian hukum yang merupakan salah satu elemen terpenting untuk memastikan kegiatan bisnis hulu migas yang merupakan investasi jangka panjang dapat berjalan dengan baik dan sekaligus memperbaiki iklim investasi.
Ia pun mengakui RUU Migas hasil revisi UU 22/2001 menjadi kebutuhan mendesak pelaku usaha karena akan memunculkan iklim investasi hulu migas yang kondusif.
Sayangnya hingga saat ini posisi hal itu masih diproses di Badan Legislatif (Baleg) DPR. Hal ini terkait alotnya pembahasan ataupun sinkronisasi pemahaman mengenai Badan Usaha Khusus (BUK) yang melibatkan dua Komisi DPR, yaitu Komisi VII dan Komisi VI.
Pasalnya, BUK (konsep dari Komisi VII) mengintegrasikan sektor hulu dan hilir, diantaranya SKK Migas dan BPH Migas yang fungsinya tetap sama. Sementara konsep dari Komisi VI, induk usaha (holding) merupakan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor migas.
“Revisi UU Migas memang masih menjadi utang bagi anggota DPR periode 2014-2019. Tentu kami akan berupaya maksimal untuk bisa meloloskannya sebagai undang-undang migas baru yang akan menjadi payung hukum bagi tata kelola sektor migas dan energi di Indonesia ke depannya,” ucap Satya.
Reporter: Sam