Eksplorasi.id – Selama saya menjadi wakil ketua di Komisi VI DPR RI dari tahun 2017 s/d 2019, banyak hal yang saya pelajari tentang BUMN, di mana salah satu persoalan tradisional yang tidak pernah usai membebani BUMN adalah public service obligation (PSO).
BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke IV, pasal 34 Ayat 3 yang berbunyi:
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”, di mana kemudian diimplementasikan dalam UU No 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pasal 66, ayat 1 yang berbunyi:
“Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN”.
Kemudian penjelasan-nya pasal 66, ayat 1 tersebut berbunyi sbb:
“Meskipun BUMN didirikan dengan maksud dan tujuan untuk mengejar keuntungan, tidak tertutup kemungkinan untuk hal-hal yang mendesak, BUMN diberikan penugasan khusus oleh pemerintah.
Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan”.
Mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk penyelenggaraan fungsi kemanfaatan umum, menyebabkan BUMN harus mengemban kewajiban pelayanan umum atau PSO dan dalam pasal 66 UU BUMN tersebut juga, pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk mengemban PSO dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.
Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan.
Di sisi lain, BUMN sebagai entitas bisnis juga dituntut untuk dapat berkompetisi dengan swasta bahkan asing, di mana BUMN menjadi penggerak perekonomian Indonesia dengan tujuan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.
Berdasarkan fakta tersebut, pemerintah sebagai pemberi tugas, seharusnya memikirkan pemberian dana pengganti untuk pelaksaan PSO tersebut.
Permasalahan yang timbul adalah tidak sedikit BUMN pengemban PSO yang merugi, atau pemberian dana PSO yang tidak seimbang dengan beban kewajiban pelayanan umum yang diemban BUMN, bahkan ada BUMN yang sama sekali tidak menerima dana PSO.
BUMN yang menerima dana pengganti PSO juga harus menanggung beban karena pencairan dana pengganti PSO yang berasal dari APBN harus tunduk pada UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara beserta peraturan-peraturan yang terkait lainnya.
Regulasi ini mengatur di mana BUMN yang menerima tugas mengemban PSO akan mengeluarkan biaya pada awal tahun anggaran, namun pengganti dana PSO baru akan diterima pada akhir tahun karena pemerintah melalui Kementerian Keuangan harus melakukan verifikasi sebelum dana PSO tersebut diberikan.
Proses untuk mendapatkan dana pengganti PSO, ternyata sangat mengganggu kinerja keuangan BUMN, karena BUMN harus terlebih dahulu mengajukan usulan tentang kegiatan PSO yang akan dibiayai dari dana PSO, kemudian usulan tersebut dipelajari oleh kementerian teknis terkait dan apabila disetujui, maka ajuan tersebut akan dimasukkan dalam Daftar Isian Perencanaan Anggaran (DIPA) kementerian terkait, di mana kemudian dibuat agreement untuk pelaksanaan PSO tersebut.
Apabila BUMN telah selesai melaksanakan kegiatan PSO nya, maka kemudian BUMN mengajukan permohonan dana pengganti PSO, dimana kemudian diaudit terlebih dahulu oleh BPK.
Akan tetapi dalam praktiknya, besaran dana pengganti PSO, seringkali realisasinya tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan oleh BUMN.
Di sisi lain terdapat PSO yang kompensasinya tidak jelas, contohnya di Pertamina yakni, BBM satu harga yang biayanya harus ditanggung oleh Pertamina sendiri tanpa memeroleh dana pengganti PSO, selain itu ada juga penetapan harga oleh pemerintah, di mana sering terjadi selisih angka dengan formula harga BBM, sehingga menjadi beban Pertamina.
Adanya 13 wilayah kerja terminasi yang dijadikan kompensasi PSO untuk Pertamina, ternyata diperoleh Pertamina tidak secara gratis juga melainkan harus membayar signature bonus kepada pemerintah juga, kecuali Blok Mahakam.
Semua itu menyebabkan terganggunya kinerja keuangan BUMN, tentunya akan memengaruhi juga pada mutu pelayanan umum BUMN tersebut kepada masyarakat, sehingga sering terjadi komplain dari masyarakat kepada BUMN.
Selain itu juga BUMN pengemban PSO akan sulit berkompetisi dengan pelaku-pelaku usaha lainnya, di mana hal ini tentunya tidak diharapkan baik oleh pemerintah.
Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, melainkan harus segera mendapat perhatian dari pemerintah untuk membuat kajian dalam mengatasi persoalan PSO tersebut dan jangan sampai menjadi bom waktu yang akan merontokan BUMN-BUMN kita, terutama Pertamina.
Oleh:
Inas Nasrullah Zubir*
*Mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI