Eksplorasi.id – Kementerian BUMN baru-baru ini melakukan perombakan jajaran direksi di dua perusahaan energi, yakni PT PGN Tbk dan PT PLN (Persero).
Ironi, Menteri BUMN Erick Thohir luput untuk merombak jajaran direksi di tubuh PT Pertamina (Persero). Padahal, Pertamina di bawah komando Nicke Widyawati saat ini bisa dikatakan minim prestasi dan cenderung kerap mengeluarkan keputusan kontroversi.
Sebelumnya, Menteri Erick telah merombak direksi PLN. Perombakan ini merupakan kali yang kedua. Pertama, perombakan direksi PLN pada akhir tahun lalu. Kemudian, baru-baru ini.
Selain merombak susunan direksi, Menteri Erick juga mengubah susunan organisasi direksi di PLN. Kemudian, Menteri Erick juga mengubah susunan direksi PGN. Ada tiga orang direksi PGN tersingkir dan diganti oleh orang baru.
Bahkan, konon dua orang direksi PGN yang baru merupakan ‘orang titipannya’ Nicke. Sebab, kedua orang itu merupakan pegawai di Pertamina.
Mereka adalah, Fariz Aziz yang diangkat menjadi direktur Komersial PGN menggantikan posisi Dilo Seno Widagdo. Fariz sebelumnya adalah SVP Supply, Distribution and Infrastructure Pertamina.
Lalu, Beni Syarif Hidayat yang duduk menjadi direktur SDM dan Umum PGN masuk juga ke jajaran direksi PGN menggantikan posisi Desima Equalita Siahaan. Beni sebelumnya adalah SVP Human Capital Management.
“Sangat aneh langkah yang dilakukan Menteri Erick, mengubah susunan direksi di PLN dan PGN tapi mendiamkan posisi direksi Pertamina yang kinerjanya diragukan publik,” kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, Minggu (17/5) malam.
Penjelasan Yusri, kinerja Pertamina di bawah Nicke sangat memprihatinkan. Mulai dari persoalan harga BBM, elpiji, pembangunan kilang, dan sebagainya.
“Belum ada setahun direksi PLN sudah berganti dua kali. PGN pun hampir sama. Tapi ini beda perlakuannya dengan Pertamina apalagi di bawah Nicke. Sebenarnya ada kekuatan apa di belakang Nicke yang bisa membuat dia kuat?” ujar dia.
Dugaan kartel
Di satu sisi, lanjut Yusri Usman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini sedang melakukan penyelidikan soal dugaan adanya persaingan usaha tidak sehat dalam penjualan BBM, terutama yang dilakukan oleh Pertamina Cs.
Mengutip pernyataan juru bicara KPPU, Guntur Saragih pada Jumat (15/5), Yusri menerangkan, KPPU menduga adanya dugaan kartel atau persekongkolan terjadinya praktek monopoli dalam penetapan harga jual BBM oleh lima perusahaan yang bergerak dibidang penjualan BBM.
Mereka diduga melakukan kartel harga BBM, karena kompak tidak menurunkan harga saat harga minyak mentah global turun. Pasalnya, kelima perusahaan itu kompak tidak menurunkan harga saat harga minyak mentah global turun.
Kelima perusahaan yang sedang dibidik oleh KPPU adalah, Pertamina, Shell Indonesia, PT Total Oil Indonesia, PT ExxonMobil Indonesia, PT AKR Corp Tbk yang bermitra dengan British Petroleum (BP), dan PT Vivo Energy Indonesia.
Guntur Saragih berkomentar, saat ini KPPU telah mengantongi satu jenis alat bukti yang menjadi dasar penegakan hukum tersebut.
Keterangan Guntur, pihaknya menilai bahwa kartel penetapan harga tersebut dinilai melanggar pasal 5 UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal ini merupakan dugaan kartel horisontal yang memerlukan bukti akurat dalam pembuktiannya.
Menilik sejumlah kasus kartel, adanya pertemuan antara pemimpin perusahaan, baik formal maupun informal seperti bermain golf, maupun surat elektronik bisa menjadi bukti penelusuran kasus kartel.
Sekedar informasi, formula dasar harga jual eceran BBM telah diatur melalui Keputusan Menteri ESDM No. 62.K/12/MEM/2020. Regulasi itu berlaku mulai 1 Maret 2020.
“KPPU menilai kebijakan pemerintah tersebut mampu mendorong kompetisi dalam penjualan BBM nonsubsidi, khususnya dengan dihapuskannya margin minimum dari formula,” terang dia.
Namun fakta di lapangan, komentar Guntur, menunjukkan harga BBM nonsubsidi oleh pelaku usaha tersebut cenderung stagnan sejak Maret 2020, di mana rata-rata tetap berada di level Rp 9.850 untuk RON98, Rp 9.000 untuk RON95, dan Rp 7.650 untuk RON90.
“Sementara harga BBM serupa di Asean, seperti di Vietnam dan Malaysia, telah mengalami penurunan hingga 38 persen sejak Februari 2020,” jelas dia.
Guntur mengungkapkan, KPPU menduga terjadi koordinasi antarpelaku usaha di Indonesia secara bersama-sama untuk tidak menurunkan harga BBM nonsubsidinya.
Terkait penyelidikan dugaan koordinasi penetapan harga, KPPU juga memerhatikan sifat struktur pasar oligopolistik di sektor BBM tersebut.
Terpisah, anggota Komisi VII DPR Mulyanto mendukung langkah KPPU tersebut. Penegasan dia, dugaan monopoli tersebut jika terbukti merupakan sebuah kejahatan yang akan merugikan masyarakat.
Reporter : Her