Eksplorasi.id – Aparat penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), didesak turun tangan mengawasi proses izin ekspor bijih nikel sebesar 2,7 juta ton dan 850 ribu ton bijih bauksit milik PT Antam Tbk (Persero).
Hal itu ditegaskan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kepada Eksplorasi.id di Jakarta, belum lama ini. Dia mengatakan, izin ekspor itu diberikan atas rekomendasi ekspor oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM periode April dan Juli 2017.
“KPK harus turun tangan dalam proses tender yang dilakukan Antam dalam memilih calon pembelinya. Saat ini marak calo-calo yang bergentayangan menawarkan ke semua pihak bahwa mereka dapat alokasi beberapa kargo bijih nikel dari Antam,” ungkap Yusri.
Menurut Yusri, karena dugaan modus ini bukan delik aduan, maka seharusnya KPK pro aktif melakukan tindakan pencegahan dengan menyelidiki mekanisme penjualan bijih nikel di Antam apakah melalui tender terbuka atau tertutup atau menggunakan sistem alokasi kepada produsen atau trader.
“Kalau mekanisme tender tertutup atau alokasi tertentu oleh Antam, maka diduga pemburu rente akan menikmati keuntungan berkisar USD 10 hingga USD 14 per metrik ton, sehingga dengan sangat mudah publik menghitungnya dari alokasi total volume ekspornya dikalikan fee per metrik tonnya,” ujar dia.
Dia menambahkan, ada hal yang tak kalah pentingnya untuk didalami bahwa setiap metrik ton bijih nikel kadar kurang dari 1,7 persen itu mengandung mineral ikutan terdiri atas Co 0,3 persen hingga 0, 10 persen, Fe 15 persen hingga 25 persen, SiO2 20 persen hingga 25 persen dan MgO 5 persen hingga 50 persen.
“Pertanyaannya adalah bagaimana status volume besar mineral ikutan tak pernah dihitung tarif bea keluar. Kalau menurut tabel 1, 2 dan 3 yang merupakan lampiran Permendag No 1/ M-DAG/ PER/ 1/ 2017 yang menyatakan batasan kadar Fe 62 persen, SiO2 lebih dari 95 persen boleh diekspor,” jelas dia.
Yusri menegaskan, keluarnya rekomendasi ekspor bijih nikel dan bauksit tersebut oleh Ditjen Minerba pada awal April 2017 sangat bertentangan dengan kebijakan yang pernah dilontarkan Presiden Joko Widodo.
“Kalau tidak salah pada 22 Maret lalu Presiden Joko Widodo pada rapat evaluasi program hilirisasi mineral di kantor kepresidenan dengan tegas menyatakan setop ekspor mineral mentah. Sekarang paradigma mineral mentah harus dimurnikan agar memeroleh nilai tambah dan menciptakan pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.
Sikap kepala negara tersebut, lanjut Yusri, sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 dan sikap Komisi VII DPR pada 7 Desember 2016.
Sebelumnya, pada 2014, MK menolak gugatan uji materi pasal 102 dan 103 yang dilakukan Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo). Saat itu Apemindo berdalih akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran jika larangan ekspor mineral diberlakukan.
“Namun, kala itu MK berargumentasi bahwa PHK besar-besaran tidak akan terjadi apabila perusahaan tambang sejak awal memiliki komitmen kuat dan serius membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) atau bekerja sama dengan perusahaan yang sudah mempunyai fasilitas tersebut,” ujar dia.
Di satu sisi, ujar Yusri, kajian Pusat Data dan Kajian Informasi (Pusdatin) Kementerian ESDM pada 2012 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 10, 23 kali lipat jika bauksit diolah menjadi alumina. Sementara jika alumina diolah jadi alumunium ada peningkatan sekitar 130 kali lipat bila dibandingkan harga bauksit diekspor mentah.
Sebelumnya, manajemen Antam menargetkan memenuhi target ekspor mineral mentah tersebut. Direktur Marketing Antam Tatang Hendra mengatakan, target ekspor mineral mentah tersebut sesuai dengan kuota izin ekspor yang didapat perseroan dari pemerintah.
“Kami ingin memaksimalkan kuota yang diberikan. Kami masih punya lima bulan dan Agustus ini masih tanggal awal,” kata dia dia Gedung BEI, Jakarta, 7 Agustus lalu.
Laporan kinerja Antam menunjukkan, sepanjang semester I/2017 perseroan telah melakukan ekspor bijih nikel kadar rendah sebesar 275.513 wmt dan ekspor bijih bauksit mencapai 128.232 wmt.
Total produksi feronikel Antam tercatat sebesar 9.327 ton nikel dalam feronikel (TNi) atau meningkat 12 perser dibanding capaian produksi di semester I tahun lalu sebesar 8.304 TNi.
Capaian produksi tersebut seiring dengan selesainya pengerjaan roof replacement Electric Smelting Furnace-3 (ESF) dan optimalisasi fasilitas produksi pabrik FeNi II pada pertengahan Maret.
Reporter : HYN
Comments 1