Eksplorasi.id – Perusahaan tambang asal India, India Metals and Ferro Alloys Limited (IMFA), menggugat pemerintah Indonesia dalam forum arbitrase internasional di Permanent Court of Arbitration.
Gugatan dilayangkan akibat adanya tumpang tindih lahan izin usaha pertambangan (IUP). Kasus berawal dari pembelian PT Sri Sumber Rahayu Indah oleh IMFA pada 2010.
Diketahui PT Sri memiliki IUP untuk batubara di Barito Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng). IMFA mengklaim pihaknya telah menggelontorkan dana USD 8,7 juta untuk membeli PT Sri.
Ironisnya, mereka tidak bisa melakukan penambangan karena ternyata IUP di lahan seluas 3.600 hektare yang dimiliki PT Sri tidak dalam status clean and clear (CnC). IUP mereka tumpang tindih dengan IUP milik tujuh perusahaan lain lainnya.
Karena alasan tersebut IMFA lalu menuntut ganti rugi dari pemerintah Indonesia senilai USD 581 juta atau setara Rp 7,7 triliun. Berdasarkan perhitungan IMFA, potensi pendapatan yang hilang (potential lost) akibat tidak bisa menambang batubara ditambah investasi yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 7,7 triliun.
Menanggapi persoalan tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku pemerintah sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi gugatan tersebut.
“Ini sudah masuk dalam arbitrase, Indonesia atau pemerintah sudah menyiapkan jawaban dan langkah hukum, termasuk mengatakan bahwa mereka itu tidak punya legal standing karena bukan mereka yang berperkara di Indonesia,” kata JK di Jakarta , Selasa (4/4).
Reporter : Diaz