Eksplorasi.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tengah disusun pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI disinyalir akan mengakselerasi kebutuhan pengembangan EBT di Indonesia.
“RUU EBT ini sifatnya percepatan, karena harus melipatgandakan realisasinya dan magnitude-nya besar. Misalnya untuk listrik, kalau kita mau naik dua kali lipat, berarti harus menaikkan (EBT) sampai 12 ribu Giga Watt dalam lima tahun,” kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana, Senin (26/4).
Selain meningkatkan koordinasi dan sinergi antarsektor, sambung Dadan, keberadaan aturan EBT diharapkan mampu mempercepat dari sisi proses-proses investasi.
“Ini diharapkan ada manfaat secara nasional, baik dari segi EBT maupun ekonominya bisa berjalan,” jelasnya.
Salah satu sisi keenomian yang disorot Dadan adalah keberlangsungan korporasi PLN, dimana ia berharap upaya transisi energi akan memberikan dampak positif bagi finansial PLN. “Masuknya EBT yang berbasis listrik justru akan memperbaiki kasnya PLN,” tegasnya.
Dadan menekankan EBT harus mampu menciptakan keekonomian yang efisien dengan masuk ke level daya saing yang baik terhadap energi fosil. “Jangan sampai kita masuk pada ekonomi cost tinggi, nanti bisa hilang competitiveness. Jadi EBT punya solusi di dua sisi, yakni menyediakan listrik yang lebih baik dan bersih serta menjadi penyedia tenaga kerja yang berkelanjutan,” ungkapnya.
“EBT bukan hanya memiliki dampak positif terhadap lingkungan, melainkan juga mengikuti tren perekonomian, di mana negara-negara maju kini ramai-ramai menuju transisi energi, terutama dengan negara-negara tujuan ekspor yang mulai fokus pada sumber jejak karbon sebuah produk,” ucap Dadan.
Beberapa inovasi teknologi pun tengah digalakkan Kementerian ESDM dalam mempercepat pengembangan EBT. Selain pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan memanfaatkan waduk atau danau, juga memanfaatan dimethyl ether (DME) untuk untuk menggantikan LPG, sehingga bisa menjadi substitusi impor. Apalagi selama ini penggunaan LPG membebani karena 70% dari kebutuhan dipasok dari impor.
“Kalau mau menuju zero emission kan tidak bisa diselesaikan sendiri di produksi, melainkan harus melihat dari sisi keekonomiannya, sekarang belum terlihat kalau listrik sudah ada beberapa contoh, kalau kemigasan sudah ada komersial di luar. Kalau DME ini nanti bisa lihat lokasinya juga,” lanjut Dadan.
DME ini, lanjut Dadan memiliki kemampuan pembakaran yang lebih baik dibandingkan LPG. Ia mengakui penggunaan DME ini harus bersinergi dengan sektor lainnya, yang bisa menyerap emisi dari produksi DME sehingga bisa mencapai emisi nol.
“Substitusi LPG menjadi DME ini kan kepentingan nasional, kalau hanya DME saja tidak bisa menyelesaikan maka akan dicarikan pasangan yang lain. Sektor lain yang bisa menyerap dan tetap zero emission,” pungkas Dadan.